Friday, September 02, 2016

Cernak, 04 September 2016





Ulos Kesayangan Ibu

Sore yang kering di musim kemarau. Angin bertiup kencang. Ibu bergegas menuju ke halaman belakang, khawatir jemurannya jatuh ke tanah ditiup angin.

Kakak beradik, Jogi dan Uli, yang sedang bermain di halaman langsung membantu Ibu mengangkat pakaian dari jemuran. Mereka berlomba mengangkat jemuran yang banyak jumlahnya.

Tiba-tiba angin bertiup kencang. Benar-benar kencang hingga menerbangkan daun-daun kering, kertas dan sampah plastik, dan banyak lagi. Ibu menahan pakaian agar tidak bertebaran.

Tapi ...

Oh, selendang ulos,” teriak Ibu melihat sehelai selendang ulos yang tidak sempat dipegangnya ikut terbang.

Jogi dan Uli berusaha menangkapnya. Mereka tahu itu selendang ulos kesayangan Ibu. Dulu Ibu mendapatkannya dari Nenek. Ulos itu dipakai  nenek untuk menggendong Ibu. Jogi dan Uli juga dulu ketika bayi digendong pakai selendang ulos itu oleh Ibu.

Jogi dan Uli berhasil menangkap kain ulos itu. Tapi mereka malah ikut terbawa terbang.

“Toloooong,” teriak Jogi dan Uli.

Ibu di bawah tampak cemas melihat kedua anak kesayangannya dibawa terbang. Dia langsung berlari ke kumpulan tukang bentor di dekat halaman agar menolong kedua anaknya.

“Tolonglah anak-anakku. Jangan sampai mereka terluka. Ayahnya sedang pergi jauh ke luar kota,” kata Ibu sedih.

Para pengemudi bentor kemudian berpencar membantu mengejar Jogi dan Uli.

Sementara itu Jogi dan Uli terbang makin tinggi.

“Uli, berpeganganlah yang erat,” Jogi meminta Uli memegang erat selendang ulos yang terus melayang tinggi.

Mereka terbang melewati Bukit Tarabunga, Danau Toba, dan Pulau Samosir. Hati mereka yang semula takut, kini berubah menjadi gembira. Mereka bisa melihat pemandangan indah di bawah mereka.

Akhirnya, angin berembus pelan.

“Kita akan turun sepertinya,” kata Jogi.

“Oh syukurlah. Tanganku mulai pegal,” kata Uli.

Mereka turun di sebidang lapangan. Begitu pula selendang ulos. Mereka melipatnya lalu berjalan ke sisi jalan.

“Lihat ada orang yang terjatuh,” kata Jogi melihat tak jauh dari sisi jalan.

“Sepertinya pengemudi bentor,” kata Uli.

Ya, seorang pengemudi bentor terjatuh. Tak jauh darinya tampak bentor terguling. Pengemudi bentor itu merintih kesakitan memegang kakinya yang terluka.

“Pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya Jogi.

“Kakiku terluka. Aku perlu kain untuk menutup lukaku,” kata pengemudi bentor.

“Bang Jogi, pinjamkan saja selendang ulos Ibu,” bisik Uli menyarankan.

“Tapi ini selendang ulos kesayangan Ibu. Nanti jadi kotor dan rusak.” Jogi tidak mau memberikan.

“Ayolah, Bang Jogi. Kasihan dia.”Uli membujuk kakaknya. Dia sedih melihat kaki pengemudi bentor yang terluka.

Jogi akhirnya memberikan selendang ulos Ibu untuk membalut luka.

Pengemudi melilitkan ulos itu di kakinya. Dia diam sebentar dan merasakan nyeri di kakinya berkurang. Pengemudi bentor itu kemudian berdiri perlahan. “Terima kasih, anak-anak. Aku mengejar kalian dari dekat rumah kalian. Ayolah kita pulang. Ibu kalian pasti cemas memikirkan kalian,” katanya.

Jogi dan Uli senang bisa pulang naik bentor. Mereka berteriak senang.

Di sepanjang jalan mereka bercerita kepada pengemudi bentor pengalaman terbang dengan selendang ulos. Tanpa terasa mereka pun sampai di halaman rumah. Rupanya Ibu masih di luar menunggu mereka. Ibu berterima kasih kepada pengemudi bentor yang telah menolong.
Ibu menyambut Jogi dan Uli bahagia.

“Tapi, Bu, selendang ulos Ibu dipakai membalut luka pengemudi bentor,” kata Jogi.

“Tidak apa-apa. Kalian sudah melakukan dengan benar. Kain ulos itu lambang kasih sayang. Tak apa-apa Ibu kehilangan kain ulos itu. Yang penting Ibu tidak kehilangan kalian. Ibu sangat menyayangi kalian,” ucap Ibu.

Mereka pun berpelukan.

No comments: