Saturday, April 29, 2017

Cernak, 30 April 2017

Pina dan Ibu






Dahulu kala, ada seorang wanita yang tinggal bersama putrinya, Pina, di sebuah gubuk kecil di desa.  Sang Ibu bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan mereka tiap harinya. Tidak peduli seberapa keras ia bekerja, dia tidak pernah mendapat bantuan apa pun dari putrinya. 

Pina adalah pemalas,  manja dan suka bermain di halaman belakang sepanjang hari.  Setiap kali ibunya meminta bantuan di sekitar rumah atau  mencoba untuk meminta dia untuk suatu keperluan, dia selalu menemukan alasan dengan mengatakan dia tidak bisa menemukan objek yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas itu.  Tak perlu dikatakan, ibunya selalu berakhir melakukan pekerjaan sendiri.

      Suatu hari, ibunya  sakit parah. Dia memanggil Pina, yang seperti biasa sedang bermain di halaman belakang.

      "Pina! Pina! Kemarilah, Anak. Ibu benar-benar  sakit.  Tolong Ibu buatkan  bubur. Aku terlalu lemah untuk bangun."

      Pina mengabaikan ibunya dan terus bermain.

      "Pina,cepat datang ke sini, atau siapapun!"  Ibu  mengerahkan semua kekuatannya hanya untuk mengatakan ini.  Pina  menjulurkan kepalanya ke dalam  kamar ibunya.

      "Apa yang Ibu inginkan?  Ibu  benar-benar mengharapkan aku untuk memasak untuk  Ibu?  Itu terlalu sulit, "protes Pina sambil cemberut dan menghentak kakinya.

      "Pina, itu sangat sederhana.  Hanya menempatkan beberapa beras dalam  panci dan tambahkan air.  Setelah air mendidih,  biarkan  mendidih untuk sementara.  Aduk sesekali dengan sendok.  Semua yang Pina butuhkan sudah ada di dapur."

      Pina dengan terpaksa pergi ke dapur.  Ibu bisa mendengar suara Pina  membenturkan  laci dan lemari. Kemudian  Ibu mendengar Pina membuka pintu belakang dan menyelinap keluar ke halaman belakang. Ibunya menunggu dan  menunggu. Akhirnya, dia memanggil Pina lagi.

      "Pina, apakah sedang memasak?"

      "Tidak,"  jawabnya Pina menantang.

      "Mengapa?" respon jengkel ibunya.

      "Karena Pina tidak bisa menemukan sendok," jawabnya.

      "Oh, Dasar anak  malas!  Kamu  bahkan belum mencarinya! Ibu sedang sakit,  tapi Ibu tidak bisa mengandalkanmu!"

      Ibu menangis dengan sedihnya. Dalam kemarahannya, dia berteriak, "Aku berharap akan tumbuh seribu mata seluruh kepalamu!  Kemudian kamu dapat menemukan apa yang kamu cari. Mungkin kamu tidak akan memiliki alasan lagi."

      Setelah ibu mengatakan itu,  tidak terdengar suara  balasan.  Ibu berpikir, "Dia  pasti sedang mencoba diam berharap aku akan  melupakan yang aku pinta." Ibu menghela napas.

      Dia menunggu sebentar  untuk melihat apakah  Pina akan datang kembali.  Menyadari sia-sia menunggu itu, ibu berusaha bangkit untuk memasak sendiri. Ketika dia melihat ke halaman belakang, tidak ditemukan Pina di sana. Dia menghela napas lagi dan berkata pada dirinya sendiri, "Anak malas itu mungkin pergi ke rumah temannya agar tidak usah mengerajakan apa yang aku pinta."

      Setelah kelelahan, sang  ibu segera kembali ke kamarnya untuk istirahat. Dengan keadaan yang begitu lemah, ibu   hanya mencoba untuk melakukan segala sesuatu dengan  sendiri.  Jam demi jam berlalu, masih belum ada tanda-tanda anak bandelnya kembali.  Dengan berat hati,  ibu berpikir bahwa Pina pasti telah melarikan diri.

      Ketika ibu akhirnya sembuh dari penyakitnya,  hal pertama yang dia lakukan adalah  mencari Pina.  Tidak ada yang melihat atau  mendengar di mana Pina.  Rasanya seperti dia menghilang ke udara. Bulan berlalu dan masih tidak ada tanda-tanda kabar Pina. Sang ibu merasa menyesal atas ledakan  amarahnya,  dan dia takut tidak pernah melihat putrinya lagi.

       Suatu hari,  ibu menyapu  halaman belakang tempat Pina sering bermain.  Ia melihat tanaman aneh  tumbuh di tempat  terakhir melihat Pina. Pada saat itu  daun tanaman telah terbuka penuh. Di dalamnya, ia melihat buah kuning yang aneh  menyerupai kepala anak dengan seribu mata. Seribu mata ...

      Dia tiba-tiba teringat kata-kata amarah yang  dia ucapkan.  Dengan sedih,  ia menyadari bahwa  sama seperti cinta ibu yang  telah  memanja putrinya, begitu pula kemarahannya tanpa sadar mengutuk putrinya. Bagaimanapun, putrinya telah berubah  menjadi tanaman ini.

      Untuk menghormati memori putrinya tercinta, tanaman itu diberi nama buah Pina. Dia merawat  tanaman  itu seperti putrinya sendiri.  Buah berkembang dengan baik sehingga melahirkan semakin banyak buah-buahan,  dan menjadi populer di kalangan desa dan seluruh negeri.  Namanya kemudian berkembang ke pinya, atau Pineapple dalam bahasa Inggris. Begitulah kisah asal-usul nanas,  menurut cerita rakyat  Filipina, yang artinya anak manja yang dikutuk dengan seribu mata.

No comments: