Friday, December 26, 2008

Cernak, 28 Desember 2008


Terompet Tahun Baru

Oleh Benny Rhamdani

Sore yang basah. Gerimis turun sejak pagi. Jamal yang sedang libur ikut dengan beberapa temannya menjajakan jasa ojek payung di mal.

“Hujannya tanggung nih. Jadi nggak semua orang mau nyewa payung,” keluh Usman.

“Iya, mestinya lebih gede lagi,” tambah Rizal.

Jamal terdiam. Dia tak sepenuhnya sependapat. Hujan memang bias jadi mendatangkan rezeki buat dirinya dan teman-temannya. Tapi Buat beberapa orang, hujan bisa berarti surut rezeki. Termasuk bagi Bapaknya.

“Aku pulang dulu ya. Udah sore. Aku belum shalat ashar,” pamit jamal.

“Rajin benar kamu, Mal. Nanti aja dekat-dekat magrib. Sebentar lagi pasti rame,” sela Usman.

“Wah, nanti malah kebablasan.” Jamal langsung berlari meninggalkan teman-teman. Dia sudah merasa cukup dengan uang yang diperolehnya.

Tiba di rumah dia melihat ibu dan adiknya berada di ruang tengah. Di dekat mereka bergeletakan kertas karton dan kertas warna-warni. Juga lem dan gunting. Tak jaug dari Ibu, tersusun ebberapa terompet aneka bentuk. Terompet untuk menyambut tahun baru.

“Wah, sudah banyak ya?” Jalal memerhatikan susunan terompet yang sudah jadi.

“Ya, sudah banyak. Kalau tidak hujan, mestinya sudah terjual banyak,” jawab Ibu.

“Bapak jualan di mana?” tanya Jamal.

“Dekat Masjid Agung. Tapi masih dijinjing. Bapak belum dapat tempat yang bagus buat jualan tetap. Tempat yang tahun lalu sudah ditempati orang lain,” jawab Ibu.

“Jamal mandi dan shalat dulu ya!” pamit Jamal.

Lima belas menit kemudian Jamal kembali ke ruang tengah. Dia menyarhkan seluruh uang yang didapatnya hasil mengojek payung tadi.

“Wah, banyak juga uang yang kamu dapat. Alhamadulillah,” kata Ibu.

“Iya, Bu. Bisa buat modal bikin terompet lagi,” usul Jamal.

“Kalau hujan melulu, mendingan uangnya buat yang lain. Terompet yang sudah jadi sudah banyak. Yang terjual hanya sedikit. Nanti malah menumpuk yang tidak terjual,” kata Ibu.

“Kalau begitu buat modal yang lain saja,” timpal Jamal.

Ibu mengangguk.

“Kalau terompetnya sudah banyak. Nisha boleh nggak ngojek payung kayak Kak Jamal?” tanya Nisha.

“Ya, jangan. Nisha kan masih kecil,” cegah Ibu.

“Tidak apa-apa, Bu. Biar duit kita banyak. Nah, nanti di malam tahun baru Bapak dan Ibu nggak usah dagang terompet. Kita sama-sama ke pusat kota merayakan tahun baru melihat kembang api,” kata Nisha.

“Kalau dapat duit banyak. Kalau Nisha malah sakit gimana? Nanti malah harus keluar banyak uang untuk berobat Nisha,” kata Ibu.

“Oh iya ya,” ucap Nisha. “Nisha jadi ingat dulu waktu kecil sekali. Kita jalan-jalan di malam tahun baru….”

Ibu menghela nafas. Air mata Ibu menitik.

Tiga tahun lalu, kondisi keluarga mereka memang cukup berada. Tinggal di rumah yang bagus dengan halaman luas. Tapi kemudian Bapak ditipu seorang temannya. Bapak juga dituduh melakukan perbuatan criminal. Kondisi keluartga jadi kacau. Semua benda berharga di sita, sebagian lagi dijual untuk membayar pengacara mahal agar Bapak tak dipenjara.

Setelah itu mereka harus pndah rumah. Mengontrak rumah di sebuah gang kecil. Berbagai usaha dicoba Bapak, tapi tak berjalan baik.

“Bu, sudahlah jangan menangis,” bisik Jamal sambil menyeka air mata Ibu.

“Maafkan Nisha ya, Bu,” kata Nisha kemudian.

Ibu mengangguk. Bersamaan dengan itu pintu dibuka. Bapak masuk ke rumah kebasahan. Mukanya tampak senang.

“Bapak mau memberi kabar gembira,” kata Bapak langsung. “Tadi Bapak ketemu teman Bapak dulu. Dia kaget melihat bapak jualan terompet. Akhirnya dia malah memesan seratus terompet untuk pesta tahun baru di perusahaannya. Nah, terompet yang Bapak bawa tadi diborongnya utuk keluarganya.”

“Alhamdulillah,” ucap Ibu.

“Wah, uang kita banyak ya nanti! Kalau begitu kita tinggal buat saja seratuis terompet. Bapak tidak usah cape menjualnya di sisi jalan. Kak jamal juga jangan ngojek payung melulu. Nah, nanti malam tahun baru kita jalan sama-sama,” kata Nisha.

“Ya, kita lihat pesta kembang api,” tambah Jamal.

Ayah dan Ibu mengangguk. Mereka berangkulan, bersyukur bersama.

No comments: