Thursday, April 02, 2009

Cernak, 5 APril 2009


Jam Beker Tua

Oleh Benny Rhamdani


Hari ini aku mendapat kiriman sebuah paket tanpa pengirim. Tadinya aku berharap isinya handphone atau mainan game lainnya. Begitu kubuka ternyata isinya sebuah jam beker tua. Aku mencoba mengingat-ingat, siapa di antara temanku yang mengerjaiku ini.

Ah kusimpan saja dulu. Nanti, pasti bisa kuketahui siapa pelakunya.

Kuletakkan jam beker itu di atas meja. Bersamaan dengan itu Ibu masuk ke kamar.

“Paket untukmu tadi apa isinya?” tanya Ibu.

“Jam beker tua. Pasti teman-teman di sekolah yang melakukannya,” tunjukku ke arah jam beker.

Ibu tersenyum. “Ya, setidaknya mereka telah memberikanmu sesuatu,” kata Ibu sambil kembali keluar kamar.

Ya, Ibu benar. Paling tidak di kamarku sekarang ada jam beker. Hm, tapi aku tidak yakin jam beker tua ini masih berfungsi.

Kuputar waktu berdering bekernya sejam kemudian. Akupun tak.sadar tertidur lelap. Dan … aku terbangun ketika kudengar suara bel berdering nyaring. Jam beker itu bekerja membangunkanku.

“Yoko! Bangun! Sudah sore!”

Yoko? Siapa Yoko? Namaku kan Ken. Dan kenapa suara di luar kamar itu tidak seperti suara Ibu atau orang yang kukenal.

“Yoko, kenapa tidak segera bangun. Sore ini kau kan harus latihan karate,” suara seorang perempuan sepantar ibuku. Tapi dia bukan ibuku.

“Karate?” aku bingung.

Perempuan itu kaget melihat aku bingung. “Memangnya kau mau latihan balet?” tanyanya. “Ibu tidak akan mengizinkanmu.”

Oh, dia ibuku. Maksudku, ibunya Yoko. Dan ketika aku melihat cermin, aku kaget karena ternyata aku bukanlah aku. Maksudku, wajahku berubah tidak seperti wajahku selama ini.

“Kenapa mukamu pucat sekali? Kau sakit?” tanya perempuan itu smbil meraba keningku.

“Sudahlah. Kalau memang sakit, tidak usah ltihan karate. Tapi tolong jaga dua adikmu. Ibu mau mengambil bed cover di tukang laundry.”

Dua adikku? Aku kan anak bungsu.

Perempuan itu kemudian keluar dari kamarku. Oh, ini sangat tidak sama dengan kamarku. Kamar yang sedikit lebih rapi, meskipun ukuran kamarnya sama.
Setelah aku terbingung-bingung beberapa saat di kamar, aku memutuskan ke luar kamar. Aku mendengar suara dua orang anak lelaki menjerit.

“Kak Yoko!”

Aku berlari menuju sumber suara jeritan itu. Kulihat dua anak kembar berusia sekitar tujuh tahun sedang berebut mainan.

“Kak Yoko, Ito nakal tuh! Dia merebut mainanku!” kata salah satu dari mereka.

“Jibe yang nakal. Ini mainanku!: teriak anak yang dipanggil Ito.

Aku bingung karena tidak tahu sebenarnya itu mainan siapa yang mereka perebuitkan.

“DIAM! Itu mainanku!” teriakku akhirnya.

Dua anak kembar itu terdia. Aku bersyukur karena akhirnya mereka diam. Suasana tenang. Tpi itu hanya sementra, akrena tiba-tiba saja Ito melemparku dengan mainan.
Aku kesakitan. Ito malah tertawa. Jibe juga ikut tertawa. Aku mengejar Ito yang kemudian lari. Tak kuduga kali ini giliran Jibe yang melemparku dari belakang. Aku jadi bingung hendak mengejar Ito atau Jibe karena keduanya berlari ke arah yang berlawanan.

Belum sempat aku putuskan, Jibe sudah melemparku dengan plastik berisi air. Badanku jadi basah. Penderitaanku belum berkhir, karena giliran Ito yang melemparku dengan palstik berisi tepung.

“Hahahaha!” keduanya tertawa.

Grrrr! Aku harus mengakap salah satu dari mereka.

Tapi sepertinya mereka bisa membaca pikiranku. Mereka lari sebelum aku bergerak. Aku berusaha mengejar. Hingga tak terasa aku menginjak satu mobil mainan. Suiiit! Bruk! Aku terjatuh tak sadarkan diri.


Krriiiing!

Suara jam beker membangunkan aku. Aku langsung melihat sekelilingku, khawatir anak kembar nakal itu masih ada sini.

Ternyata tidak ada!

Aku sudah kembali ke kamarku dan … wajahku juga sudah menjadi Ken!

“Ken! Kamu masih tidur?” Ibu berkata smbil membuka pintu kamar.

“Sudah bangun. Kenapa, Bu?” Aku bersyukur melihat yang masuk ke kamarku adalah benar ibuku.

“Ibu mau minta tolong. Boleh, kan?” tanya Ibu.

“Ya, tentu saja.”

“Ibu mau perhgi bersama teman lama Ibu. Ada teman kami yang meninggal. Teman Ibu itu tidak mau mengajak anak-anaknya. Dia mau menitipkan di sini dulu,” kata Ibu.

“Oh, silakan saja. Kapan mereka datang?” tanyaku.

“Sebentar lagi. Tadi teman ibu sudah menelepon sedang dalam perjalanan.”

Aku merapikan diri sebentar. Tidak enak kalau bertemu teman Ibu dalam keadaan semrawut begini.

Beberapa menit kemudian sebuah mobil masuk ke halaman rumah. Lalu …

Hah? Bukankah itu …. Perempuan itu dan dua anak kembarnya yang nakal.

“Ken, kenalkan ini teman ibu. Bu Rika. Dan dua anak kembarnya ini bernama ….”

“Ito dan Jibe?” potongku.

“Hei, bagaimana kau bisa tahu?” tanya Bu Rika.

Aku tidak bisa menjelaskannya. Nanti aku malah dikira orang aneh.

“Itu dari topinya,” kataku sambil menujuk border di topi mereka yang menuliskan nama mereka.

“Oh iya. Maafk aku harus menitipkan Jibe dan Ito. Biasanya Yoko yang mengasuh. Tapi dia harus ikut les karate,” kata Bu Rika.

Aku menelan ludah. Kulihat, dua anak kembar itu tersenyum kepadaku. Senyum anak nakal.

Aku tidak punya alasan yang kuat untuk menghindari tugas ini. Maka, aku harus siap menerima tugas ini.

Ibu dan Bu Rika langsung pergi. Kuajak Jibe dan Ito ke dalam rumah. Mereka menurut. Tapi begitu di dalam rumah, mereka langsung mengluarkan kenakalsn mereka. Loncat-loncat di kursi dan meja. Juga berlari-larian.

Aku tidak ingin kesal. Kubiarkan saja mereka. Aku malah pergi ke loteng membereskan gudang. Masih kudengar suara berisik dua anak itu di lantai bawah. Sampai beberapa sat kemudian, aku tak mendegar suara mereka. Aku pun turun. Di ruang depan dan di tengah tak ada. Kemana mereka?

Ah! Aku menemukan mereka di kamarku. Tidur lelap kelelahan.

Entah berapa lama menit kemudian, aku yang sedang membaca komik mendengar suara jam beker di kamar berbunyi. Aku mendengar suara menjerit dari kamarku. Rupanya si kembar terbangun dari tidurnya. Tapi mengapa harus menjerit?

“Ada apa dengan kalian?” tanyaku.

“Aku bermimpi menyebalkan. Tapi seperti nyata,” kata Jibe.

“Aku juga,” kata Ito.

“Mimpi apa?” tanyaku.

“Aku bermimpi jadi Kak Yoko. Lalu, dalam mimpi itu berhadapan dengan dua anak kembar yang menyebalkan. Ya, aku dan Ito,” jelas Jibe.

“Aku juga bermimpi jadi Kak Yoko, dan mimpiku begitu juga,” kata Ito.

Aku menggaruk kepalaku. Bisa kutebak, mimpi mereka sama seperti yang kualami.

Kedua anak kembar itu saling memandang lalu terdiam lama.

Pintu rumah diketuk. Aku membukanya.

Yoko?

“Kak Yoko!” Jibe dan Ito langsung berhamburan memeluk Yoko.

“Maafkan kami suka bandel sama Kak Yoko,” kata mereka bersamaan.

Yoko seperti bingung. Aku hanya mengangkat bahu ketika Yoko melihatku.

“Ah, aku ke sini untuk menjemput adikku. Ibuku tadi memberi alamat rumah ini. Oh iya namaku Yoko.”

“Aku Ken. Masuklah. Nanti saja pulangnya sambil menunggu Ibumu pulang.”

Yoko masuk ke rumah. Dia mengikuti masuk ke kamarku. Dan Yoko kaget ketika melihat jam beker di mejaku.

“Dari mana kau mendapatkan jam ini?” tanya Yoko.

“Seseorang mengirimnya lewat paket. Tapi aku tidak tahu pengirimnya. Kau tahu siapa yang punya jam ini?”

“Ini jam beker di kamarku. Ya, mungkin Cuma mirip. Tapi aku membuangnya kemarin karena rusak.”

“Oh begitu ya. Kalau kau mau, ambil lagi saja.”

“Tidak usah. AKu tidak mau. Soalnya, aku pernah bermimpi yang benar terjadi. Tiba-tiba aku berubah jadi anak lelaki yang penakut di sekolah. Bahkan aku ngomopol ketika anak-anak perempuan memberiku belalang. Mimpi itu setelah aku memutar alarmnya,” tolak Yoko.

Hah? Lho, itu kan kejadian yang aku alami kemari di sekolah.

Aku semakin bingung. Apakah ini memang ada hubungannya dengan jam beker itu? Bagaimana menurut kalian?

No comments: