Friday, August 21, 2009

Cernak, 23 Agustus 2009


Ayunan Misterius


Oleh Benny Rhamdani


Tinggal di rumah baru selalu saja menemukan hal-hal menarik. Itulah yang pernah kubaca dari beberapa buku. Tapi buatku tidak begitu. Seminggu sudah aku tinggal di rumah baru, tapi semuanya biasa saja.


Malah belakangan ini, aku merasa mulai terganggu oleh suara-suara berisik di saat aku istirahat di kamar. Suara itu dari halaman tetangga. Suara dua orang kakak beradik sedang bercanda.


“Ma, apakah tidak sebaiknya kita ke rumah sebelah? Kita beritahu kalau mereka mengganggu aku tidur siang atau sedang belajar,” protesku kepada Mama.


“Mengganggu bagaimana? Mereka kan bermain di halaman rumah mereka sendiri. Suara yang dikeluarkan hanya suara bercanda biasa. Jangan-jangan kamu iri tidak bias bermain seperti mereka,” jelas Mama.


“Uuuh Mama!” aku kesal dan kembali ke kamar.


Mungkin Mama benar, aku iri kepada mereka. Soalnya, aku tidak bias bercanda seperti mereka. Sebenarnya aku juga punya kakak. Kak Bram. Tapi kak Bram tahun ini harus kuliah di Bandung. Jadi, aku hanya satu-satunya anak di rumah sekarang. Seperti anak tunggal.


“Hahahahaha!”


“Dorong yang keras lagi, Kak!”


Aku mendengar lagi suara berisik itu. Suara anak lelaki dan perempuan. Mereka sepertinya sedang bermain ayunan.


Aku bergerak ke jendela. Ingin tahu seperti apa wajah mereka. Tapi mustahil melihat mereka karena terhalang tembok tinggi.


Pelan-pelan aku ke luar ke samping rumah. Aku mengambil tangga dan meyandarkan ke pagar tembok yang membatasi dengan halaman tetangga. Kunaiki anak tangga perlahan. Sedikit demi sedikit aku bisa melihat halaman sebelah rumah.


Halaman yang luas dan asri. Tapi kok sepi? Tak ada seorang anak pun di sana. Kecuali … sebuah ayunan yang masih bergerak pelan.


“Pasti mereka baru saja meninggalkan ayunan itu,” gumamku.


Aku merapikan kembali tangga yang habis kupakai. Dengan perasaan penasaran yang masih tersimpan, aku kembali ke kamar.


Baru beberapa menit aku membaca buku pelajaranku, kembali aku mendengar suara berisik mereka.


“Aku dulu!”


“Aku dulu!”


“Kakak mengalah dong!”


“Iya! Tapi jangan pukul aku!”


“Hahahaha!”


Benar-benar mengacaukan konsentrasiku. Aku pun menutup bukuku. Kali ini aku ke luar kamar menuju loteng rumah. Kamarku ada di bawah. Di atas ada beberapa kamar kosong yang salah satunya kamar Kak Bram. Aku tidak suka kamar di loteng karena terlalu banyak angin.


Dari kamar Kak Bram, aku bisa melihat ke halaman sebelah. Kulihat ke ayunan di taman itu.


Ada seorang anak perempuan sedang duduk di atas ayunan. Sendiri. Wajahnya terlihat sedih. Kemana anak lelakinya?


Aku segera turun dari loteng. Kembali megambil tangga dan menyendarkan di tembok. Saat kepalaku menyembul, aku masih melihat anak perempuan itu.


“Hai! Siapa namamu? Namaku Mia,” kataku menyapa.


Anak perempuan itu seperti kaget melihatku. “Hai. Namaku Hana,” jawabnya sambil tetap berayun pelan.


“Kamu punya kakak lelaki?” tanyaku.


“Ya. Namanya Yoko. Tapi … dia sudah meninggal tiga bulan lalu.”


“Jangan bercanda. Aku baru saja mendegar suaranya. Dia tadi bermain bersamamu, kan?”


Mia mengerutkan keningnya. “Mendengar suaranya? Tidak mungkin. Aku dari tadi sendiri di sini.”


“Aneh sekali. Boleh aku ke tempatmu?” pintaku.


“Boleh. Tapi jangan melompat dip agar. Masuklah dari halalaman depan. Pintu pagar tidak dikunci jadi kamu bias langsung masuk ke sini.”


“Baik. Tunggu sebentar ya.” Aku pun menuruni tangga. Terus terang aku bingung dengan keterangan Hana tadi. Apakah suara yang kudengar tadi berarti suara hantu kakaknya?


Aku berjalan ke luar halaman rumahku menuju ke pintu pagar hlaman sebelah. Baru saja aku membuka pintu pagar, keluar seorang anak lelaki dari dalam rumah.


“Hai, mau ketemu siapa?” tanya anak lelaki itu bingung.


“Aku mau bertemu Hana,” jawabku.


“Hana? Kamu siapanya Hana?”


“Aku tetangga di sebelah rumahmu. Tadi aku bercakap dengan Hana di pagar tembok. Dia memintaku ke sini.”


“Itu tidak mungkin. Hana sudah meninggal tiga bulan lalu.”


“Hah! Jangan bohong. Aku melihatnya di ayunan tadi kok.”


“Buat apa aku berbohong? Lihat saja di ayunan sana.”


Aku ke halaman samping. Kulihat tak ada seorang pun di sana.


“Maaf ya. Tadi malah Hana yang mengatakan kakaknya sudah meninggal. Namanya Yoko,” jelasku.


“Yoko itu namaku. Aku belum meninggal kok.”


Aku makin bigug. Segera saja aku kembali ke rumah karena kini aku malah jadi ketakutan sendiri.


Malam harinya Mama dan Papa mengajakku makan malam di restoran. Aku ingin sekali menceritakan pengalamanku kepada mereka di perjalanan. Tapi aku yakin mereka tidak akan percaya. Jadi kutunda dulu.


Masuk ke restoran, ternyata suasananya ramai. Baru masuk beberapa lankah, Papa bertemu dengan orang yang dikenalnya.


“Mia, kenalkan ini Om Jun. Tetangga sebelah rumah. Orangnya sibuk, jadi papa dan Mama belum

sempat mengajak mu bertamu ke seblah,” kata papa.


Aku menyalami Om Jun, juga isterinya yang kupanggil Tante Jun saja.


“Nggak sama anak-anak?” tanya Papa.


“Mereka sedang ke kamar kecil,” kata Om Jun.


Mereka?


Ya, tak lama kemudian dua anak muncul dari kamar kecil dan mendekati kami. Aku sudah mengenal mereka. Hana dan Yoko.


“Nah, silakan kenalkan anak Om. Namanya Hana dan Yoko. Hati-hati dengan mereka ya, Mia. Mereka tuh jahil sekali. Senang banget ngerjain tem,an-teman mereka,” kata Om Jun.


Aku menelan ludah. Rasanya ingin sekali menonjok muka mereka. Habisnya, mereka tuh malah cengar-cengir senang karena telah berhasil mengerjai aku.


Awas ya pembalasanku!

^-^

No comments: