Thursday, November 12, 2009

Cernak, 15 November 2009


Gudang di Belakang Rumah


oleh Benny Rhamdani



Hari ini aku pulang agak sore karena harus latihan taekwondo dulu. Hujan yang rintik-rintik berubah jadi deras begitu aku sampai rumah. Untunglah.


“Halooo! Nggak ada orang ya?” tanyaku melintasi ruang tamu yang sepi. Mestinya kalau tidak ada orang pintu depan rumah pasti dikunci.


Rumahku ini penghuninya hanya empat orang. Kedua orangtuaku yang selalu pulang kerja saat larut malam, aku dan adikku, Rasya.


Aku segera ke kamar Rasya. Tapi dia tidak kutemukan. Aku jadi penasaran mencarinya. Di dapur juga tidak ada.


“Baru pulang ya, Kak Will?”


Aku menoleh. Kulihat adikku baru masuk dari pintu belakang.


“Lagi cari apaan sih?” tanya Rasya lagi.


“Nyari kamu. Kok bisa-bisanya menghilang. Biasanya, kamu kan duduk manis di depan televisi sepanjang hari,” kataku.


“Dari pada main game sepanjang hari,” timpal Rasya.


Aku mencibir. Aku memang paling hobi main game. “Barusan dari mana?’ tanyaku.


“Halaman belakang.”


“Ngapain hujan-hujan ke halaman belakang.”


“Siapa tahu ada cokelat jatuh di hjalaman belakang atau es krim stroberi,” jawab Rasya membuat mataku mendelik. “Suka-suka aku dong mau pergi ke mana saja,” tambahnya.


Aku tak meladeni Rasya. Segera aku mandi dan berganti pakaian. Badanku rasanya letih sekali. Latihan hari ini memang berat sekali, termasuk latihan tanding karena akan dipilih mengikuti lomba tingkat provinsi.


Kriiiing. Telepon rumah berbunyi nyaring. Kudiamkan karena lkupikir Rasya akan mengangkatnya. Tapi telepon itu terus berbunyi. Akhirnya aku yang mengangkatnya. Ternyata Papa.


“Halo, kalian tidak apa-apa kan di rumah? Papa dan Mama pulang tegah malam. Tante Yosi masuk rumah sakit dan harus operasi. Kami akan langsung ke rumah sakit sepulang kerja. Kalau ada apa-apa, kalian telepon ke HP ya,” begitu kata Papa.


Sebagai anak sulung aku meminta Papa tenang saja. Di rumah, aku yang akan menjaga Rasya.


“Rasya!” Aku kembali berteriak memanggil adikku. Kemana ya? Aku menuju ke ruang televisi, tidak ada. Di kamarnya juga tidak ada.


“Aku di dapur dari tadi kok,” kata Rasya saat aku melongok dapur.


“Ngapain kamu di dapur?” tanyaku.


“Masak pizza.”


“Mana mungkin. Membedakan bumbu dapur saja kamu tidak bisa.”


Rasya cemberut. Salahnya sendiri karena tak suka membantu Mama memasak kalau hari libur. Eh, tapi kok tumben yakali ini di dapur. Padahal dapur tempat yang paling tidak disukainya. Kecuali untuk mengambil isi kulkas.


Aku membuka kulkas. Kulihat makanan yang kutahu sudah hilang.


“Pudingnya kemana?” tanyaku.


“Habis aku makan,” jawab Rasya.


“Sebanyak itu? Memang perutmu sudah berubah jadi karung ya?”


“Suka-suka aku dong.”


Huh!


JLUGER! Suara petir berbunyi nyaring melengkapi hujan deras.


“AAAAAARGH!” Rasya langsung menjerit dan memelukku.


“Apa-apaan sih? Sama suara gitu aja takut.” Aku mendorong Rasya.


Aku melangkah. Tapi tiba-tiba aliran listrik padam.


“AAAARGH!” Rasya menjerit dan memelukku lagi. Kali ini aku tidak mendorongnya. Dalam keadaan gelap gulita begini, suasana memang jadi menyeramkan.


Aku menuntunnya mencari senter di dapur. Akhirnya aku menemukan dua. Satu kupegang, satunya kuserahkan kepada Rasya.


BRUK! KRONTANG!


Aku terkejut mendengar suara jatuh barang. Apakah? Siapakah? Aku mendegarnya dari aah gudang di belakang rumah.


“Kita lihat gudang yuk!” ajakku.


“Jangan ah. Takut. Seram. Di sini aja udah seram gelap-gelapan begini.”


“Payah! Kalau tidak mau ikut, tunggu di sini aja.”


Tapi Rasya tidak mau diam sendiri. Dia mengekoriku berjalan ke belakang rumah. Saat di depan pintu gudang aku marik napas. Berharap di dalam sana tidak menemukan hal menyeramkan.


Kriek … Pintu berderut saat kubuka. Kuarahkan senterku ke sudut nan gelap. Kulihat beberapa tumpukan perabot berjatuhan. Mana mungkin tikus menyenggolnya bisa jatuh.


Kuarahkan sorot senterku kea rah lain … dan …..


“KUNTILANAK!” aku berteriak nyaring dan langsung menarik lengan Rasya.


Uuuuh! Kok Rasya malah menahanku?


“Ayo lari!” kataku.


“Tidak perlu. Dia bukan kuntilanak.”


“Hah?”


“Dia Wati. Anak desa yang tersesat.”


“Hah?” Aku makin bingung. Kuarahkan sekali lagi senterku ke mahluk menyeramkan tadi. Ya, ternyata itu seorang anak perempuan sebaya Rasya. Dia tampak ketakutan melihatku. Di dekatnya ada piring dan minuman. Pasti dari Rasya.


Aku segera mengajak Rasya dan Wati ke rumah. Kuminta Rasya menceritakan segalanya.


Tadi sore sebelum aku pulang, Rasya melihat seorang anak perempuan di depan pagar. Tampak letih dan seperti mau pingsan. Rasya mengajak anak perempuan itu ke teras dan memberinya minum. Ternyata anak perempuan itu mengaku terpisah dengan ibunya di terminal bis. Dia sendiri berasal dari kapung nan jauh. Dia tidak berani melapor ke polisi jadinya hanya berjalan jauh sambil mencari ibunya.


Rasya merasa kasihan dan meminta Wati menginap saja dulu. Tapi karena orangtuaku pernah berpesan agar tidak smebarangan menerima tamu tak dikenal, Rasya memitanya tinggal dulu di gudang. Paling tidak jangan sampai ketahuan aku. Soalnya, aku memang paling teguh dengan peraturan orangtuaku.


“Ya, sudah. Wati sekarang tidur di kamar Rasya saja dulu. Pakaiannya diganti dulu,” kataku.


Rasya dan Wati pun ke kamar. Aku segera menelepon Papa. Untunglah Papa mau mengerti. Rencananya, besok pagi Papa akan mengantar anak itu ke kantor polisi atau meminta anak buahnya mengantar kembali ke kapungnya.


Setelah menelepon, aku tersenyum sendiri. Betapa mulianya perbuatan Rasya menolong Dewi. Kalau aku yang melihat, belum tentu melakukan hal yang sama. Bagimana dengan kalian?


^ _ ^

No comments: