Buronan
Oleh Benny Rhamdani
“Sudah siap?”
“Tunggu sebentar. Tinggal pakai kaos kaki,” kujawab pertanyaan Mama.
“Salsa, pakai kaos kakinya jangan sambil nonton televisi. Jadinya lama,” protes Kak Aga.
“Ini seru banget.
“Sayang, tidak semua orang jahat itu mukanya menyeramkan. Juga, tidak semua orang yang mukanya menyeramkan itu hatinya jahat,” kata Mama.
“Hihihi, misalnya Kak Aga ya?” kataku sambil melirik kakakku yang langsung melotot.
Kak Aga langsung mematikan teve agar aku segera bersiap. Kami hendak pergi ke rumah nenek di luar
“Buronan apaan sih, Pa?” tanyaku ketika membaca judul berita.
“Artinya orang yang sedang diburu oleh petugas polisi. Biasanya orang yang menjadi burona ini pernah berbuat jahat dan dianggap meresahkan masyarakat,” jelas Papa.
“Wah, Kak Aga buronan dong. Soalnya suka mencui kue di kulkas,” ledekku.
Kak Aga mencibir kepadaku.
Mobil pun melaju dan mulai meninggalkan
Kami pun memesan makanan yang kami suka. Sambil menunggu hidangan, aku tak mau duduk diam. Aku pun berjalan-jalan di sekitar rumah makan. Bahkan aku ke luar untuk melihat pemandangan sekitar. Saat itulah aku melihat sorang lelaki sedang keletihan di bawah pohon.
“Pak, sedang apa di sini?” tanyaku.
“Ng … anu, sedang istirahat,” jawab lelaki itu.
“Kayaknya kecapekan. Sudah makan atau minum?”
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Kasihan …
“Tunggu sebentar, Pak.” Aku kembali ke dalam. Kubelikan sekotak minuman dingin juga sebungkus roti pakai uangku. Tapi saat hendak berjalan kembali, tiba-tiba aku terngat sesuatu.
Wajah lelaki itu mirip dengan foto salah satu buronan yang aku lihat di teve dan koran. Jadi … dia buronan itu kah? Atau hanya mirip?
Aku jadi ragu-ragu melangkah. Bagimana kalau orang itu bebuat jahat kepadaku?
Setelah berdoa sebentar, kuputuskan untuk tetap bertemu lelaki itu. Dia membutuhkan air dan roti untuk mengisi perutnya.
“Pak, ini roti da minuman kotak. Mudah-mudahan cukup untuk mengisi perut,” kataku sambil menyodorkan makan dan minuman kepadanya.
“Terimakasih, nak.” Lelaki itu kemudian menghabiskan minuman kotak dan rotinya. Dia kemudian menatap kepadaku. “Nak, maukah kau menolongku sekali lagi?”
“Aaapa, Pak? Pertolongan apa?” tanyaku.
“Tapi berjanjilah, kau tak akan memberitahu siapapun.”
Aku mengangguk.
“Sebenarnya aku ini kabur dari tahanan semalam. Semula aku tak mau ikut. Tapi hari ini adalah ulangtahu anakku. Aku ingin bertemu dengannya dan memberinya hadiah. Tapi …. Sepertinya keluargaku tidak akan membiarkan aku menemui anakku. Jadi … aku ingin menitipkan hadiah untuk anakku kepadamu. Tolong sampaikan. Ini sudah kutulis nama dan alamatnya.”
Aku menerima sebuah kalung sederhana juga sepotong kertas bertulisakan nama dan alamat. Nama puterinya Zahra.
“Bapak sekarang mau kemana?” tanyaku.
“Aku ingin menyerahkan diri kembali ke polisi,” katanya sedih.
Aku mengangguk, lalu pamit.
“Bilang pada Zahra, ayahnya minta maaf. Suatu hari pasti akan menemuinya dalam keadaan bebas,” pesan lelaki tua itu.
Aku kembali ke rumah makan. Hidangan sudah siap. Papa dan mama menanyakan kepergianku. Kubilang saja lihat-lihat pemandangan di sekitar.
Setelah menghabiskan makanan dan membayarnya, kami melanjutkan perjalanan. Saat itulah aku menyodorkan kertas kepada Papa.
“Pa, apakah kita bisa menemui Zahra di tempat ini?” tanyaku.
“Ya, tentu saja. Kita akan melewati alamat itu sebelum sampai rumah nenek.”
“Terima kasih,
“Dia temanmu?”
“Iya.”
Mobil pun terus melaju. Papa kemudian keluar dari jalan raya menuju jalan perkampungan. Setelah menyamakan sebuah nomor rumah dengan keterangan di kertas, kami pun turun.
Aku paling depan menuju pintu rumah itu. Kuketuk pntu rumahnya. Seorang anak perempuan keluar. Dia memakai kruk. Kakinya lumpuh sebelah. Seorang ibu mengikutiya di belakang.
“Apakah ini rumah Zahra?” tanyaku.
“Iya, benar. Aku Zahra.”
“Oh, selamat ulangtahun, Zahra. Namaku Salsa. Aku … hanya ingin menyampiakan titipan hadiah ulangtahun untukmu. Ini dia.” Aku emnyodorkan seuntai kalung untuk Zahra. Dia kelihatan senang.
“Terima kasih. Dari siapa ini?” tanya Zahra.
“Orang yang sangat mencintaimu. Dia hanya berpesan, suatu hari nanti akan bertemu denganmu dalam keadaan bebas.”
Zahra terpana. Dia mulai menangis. Aku tak tahan melihatnya menangis. Buru-buru aku pamit.
Di mobil aku terus berterima kasih kepada Tuhan, karena hingga saat ini bisa selalu berada di dekat kedua orangtuaku, Papa dan Mama. Juga Kak Aga. Ya walaupun kadang aku sedikit kesal kepadanya.
^_^
No comments:
Post a Comment