Friday, February 26, 2010

Cernak, 28 Februari 2010




Purnama (bag.1)


oleh Benny Rhamdani


Matahari bersinar terik. Tapi siapa yang peduli jika ada rejeki di bawahnya? Terutama bagi mereka yang mengais rupiah di perempatan jalan ibukota. Termasuk para bocah jalanan.


“Akulah makhluk Tuhan yang paling seksi ....” suara seorang anak perempuan tanpa nada dan ekspresi. Di kepalanya hanya ada harapan selembar ribuan melayang ke arahnya.

“Seksi dari Hongkong! Nyanyi lagu yang bener dikit dong!” teriak supir yang didekati anak perempuan itu. Dia memasukkan receh ke cangkir plastik yang disorongkan anak perempuan itu.

Anak perempuan itu langsung menyingkir karena lampu hijau akan segera menyala. Dihampirinya anak perempuan lain yang membawa tumpukan koran. Anak perempuan yang mengenakan jilbab lusuh.

“Pur, kayaknya aku mesti ganti lagu deh. Dari tadi diprotes orang mulu nih,” kata bocah perempuan pengamen.

Bocah perempuan yang dipanggil Pur cengengesan. “Makanya jangan merasa Wulan Jamila. Jadinya, kamu bisanya cuma nyanyiin lagu dia. Kamu itu kan Wulan Jamangi alias jarang mandi pagi,” ledek Pur.

“Yeee, malah ngeledek. Ajarain dong lagu-lagu yang lagi ngetop. Kamu cepat banget kalau menghapal lagu-lagu baru. Atau kita ngamen bareng aja lagi kayak dulu,” ajak Wulan.

“Nggak ah. Aku nggak mau ngamen lagi. Mendingan jualan koran sama majalah.”

“Ayolah. Nama kita berdua kan mirip. Aku Wulan artinya bulan, nama kamu Purnama artinya juga bulan. Cuma bulan yang bulat, persis pipi kamu tuh!”

“Nggak ah. Kata Kak Sarah, belum tentu orang yang ngasih ke pengamen itu ikhlas. Beda dengan kalau mereka beli sesuatu dari kita. Bisa koran, majalah atau dagangan asongan lainnya.”

“Kak Sarah lagi, Kak Sarah lagi. Kamu nurut banget sama Kak Sarah. Kayak dia ibu kamu aja.”

“Emang salah kalau aku anggap kak Sarah itu jadi ibu aku? Kak Sarah itu kan baik. Dia yang ngajarin kita di rumah singgah, mulai dari ngaji sampai membaca dan berhitung. Kak Sarah juga yang nganterin kita ke dokter kalo ada yang sakit, atau ngurus kita-kita kalau ada yang kena razia.”

“Iya, ambil deh Kak Sarahnya.”

“Kak Sarah juga bisa kok ngajarin nyanyi,” sambung Purnama.
Wulan tertawa. “Kak Sarah tuh kalau ngajarin nyanyi, lagunya nggak bisa dipakai ngamen. Masa kita ngamen pakai lagu Balonku, Bintang Kejora, Pemandangan. Memang sih ada lagu populer, tapi kebanyakan lagu agama Islam begitu. Atau malah salawat. Aku kan nggak tahu yang di mobil itu orang Islam atau bukan.”

“Tapi kan kamu orang islam.”

“Iya deh Bu Ustad. Udah ah, merah lagi tuh!”

Mereka kembali ke jalan. Mengais rejeki.

Ketika azan ashar berkumandang, Purnama meninggalkan perempatan jalan. Wulan menolak diajak berhenti.

“Lagi banyak yang ngasih ribuan nih,” kilahnya.

Purnama menyetorkan pendapatannya ke agen koran tak jauh dari perempatan jalan. Sisa koran dan majalah dia kembalikan. Pak Haji Hagi pemilik agen koran memberikan komisi untuk jerih payah Purnama.

“Besok datang pagi lagi ya, Pur. Soalnya, besok ada tabloid baru. Lumayan komisinya gede kalau laku,” kata Pak Haji Hagi.

“Insya Allah, Pak Haji.” Purnama pun pamit. Dia berjalan menelusuri jalan kecil menuju ke pemukiman padat. Sampai di depan sebuah bangunan dengan papan nama bertuliskan Rumah Singgah Pondok Cahaya, Purnama belok dan masuk ke halamannya.

“Assalammualaikum!” teriaknya begitu masuk.

“Waalaikumsalamwarohmatulahi wabarakatu.”

Orang-orang yang menjawab salam itu tetap sibuk dengna kegiatan mereka. Ada yang membaca, membenarkan tali gitar, menyetrika baju, sampai yang tiduran di lantai.

“Kak Sarah belum datang?” tanya Purnama ke teman sebayanya yang sedang menisik bajunya. Namanya Lastri.

“Katanya sih, hari ini nggak datang. Oh iya, tadi Bang Samsul ke sini,” kata Lastri. Bang Samsul yang dimaksud adalah supir kopaja. Dulunya, dia anak jalanan juga dan sering tinggal di rumah singgah. Tapi kemudian dia bekerja jadi kenek Kopaja, sampai akhirnya jadi sopir.

“Terus?”

“Dia ngasih tahu, bibi kamu yang di Warakas sakit keras, tapi nggak diurus suaminya. Kalau bisa kamu nengok bibi kamu itu, bawa duit kalo perlu.”

“Oh...” Purnama terdiam. Dia jadi teringat bibinya yang sudah lama tidak menemuinya,
Dulu, Purnama tinggal bersama bibinya sejak ibunya meninggal. Tapi bibinya kemudian menikah dengan seorang satpam pabrik dan tinggal di kawasan Warakas. Karena tak tahan suami bibinya itu suka memukul, Purnama kabur dan menjadi anak jalanan.

“Aku akan ke sana sehabis shalat ashar,” kata Purnama sambil berjalan ke sebuah kamar.

Rumah singgah itu terdiri dari dua lantai. Lantai atas untuk anak perempuan, lantai bawah untuk anak lelaki. Setiap lantai ada tiga kamar tidur. Para penghuni rumah singgah mendapatkan satu lemari untuk menyimpan pakaian mereka. Namanya rumah singgah, jarang yang bertahan lama di kamar itu. Apalagi ada sederet aturan yang harus dipatuhi. Termasuk jadwal tidur dan bangun. Jarang sekali anak jalanan yang suka aturan begitu.

Usai mandi dan shalat ashar, Purnama pamit hendak menuju ke Warakas. Jarkanya lumayan jauh. Purnama kini tinggal di kawasan Jakarta Selatan, sementara Warakas ada daerah Tanjungpriok, Jakarta Utara.

Purnama harus naik bis kota sampai ke terminal Tanjungpriok. Baru kemudian berganti angkot.

Sudah mendekati magrib ketika tiba di terminal Tanjungpriok. Purnama agak bingung mencari angkot karena sudah lama dia tidak ke terminal itu. Apalagi, sepertinya ada perubahan susunan angkot.

“Heh! Mau kemana?”

Purnama menoleh. Dua anak lelaki belasan tahun memanggil dan mendekatinya.

“Sini dulu bentar!” anak lelaki yang hitam dan berambut merah menahan lengan Purnama.

“Lepasin!”

“Tasnya ke siniin!”

“Enak aja! Jangan!”

Breet! Si rambut merah berhasil menarik tas Purnama. Dia bersama temannya langsung berlari meninggalkan terminal.

Purnama tidak mau menyerah. Dia mengejar mereka. Di tas itu ada uang dua ratus ribu untuk bibinya. Biar bagaimanapun tas itu harus direbut kembali.

Mereka ada di seberang jalan!

Purnama bermaksud mengejarnya. Dia menyeberangi jalan tanpa lebih dulu melihat kendaraan yang melaju di kanannya.

Ngiiikkkk ....

(bersambung)

No comments: