Friday, August 13, 2010

Cernak, 15 Agustus 2010


Rahasia Bang Indra



Oleh Benny Rhamdani


“Bang Indra ke mana, Ndri?”


“Tidak tahu, Bu,” jawabku sambil tetap membaca buku cerita favoritku, Inilah Kelas Paling Ajaib.


“Sudah beberapa hari ini, kakakmu selalu tidak ada di rumah kalau menjelang buka puasa. Datang-datang selalu pas buka puasa,” kata Ibu.


“Mungkin main sama teman-teman sambil menunggu buka puasa?” timpalku.


“Teman-teman yang mana? Ibu sudah tanya sama teman-teman abangmu, mereka juga tidak tahu.”


Aku hanya menarik nafas kecil. Yang aku tahu, Ibu memang selalu berlebihan kalau mencemaskan Bang Indra. Bebeda terhadap Kak Salsa, atau bahkan aku. Kata Ayah, itu karena Bang Indra anak pertama. Dan Ibu sangat menginginkan kehadiran Bang Indra.


Apakah aku iri? Ya, sedikit. Tapi aku lebih banyak bersyukur. Lihat, betapa tidak enaknya jadi Bang Indra. Pergi ke mana pun selalu dicemaskan Ibu. Malah Ibu harus tahu pergi ke mana, berapa lama dan pergi dengan siapa.


“Coba nanti kamu tanyakan sama abangmu, perginya kemana … biar ibu tenang,” saran Ibu.


“Baik, Bu. Tapi seaiknya Ibu Tanya sendiri saja,” saranku.


“Sudah. Tapi abangmu tidak amu bilang. Malah marah-marah.”


“Ya, sudah. Ibu jangan sedih. Nanti Andri tanyakan,” janjiku lalu meneruskan membaca buku yang di sekolahku sangat banyak penggemarnya.


Menjelang adzan magrib tiba, aku berjalan ke loteng rumah. Aku memergoki Bang Indra datang sambil membawa tas yang terisi penuh. Dia baru mau masuk ke kamarnya.


“Bang Indra, bawa apa di tas. Kok kayaknya penuh banget isi tasnya?” tanyaku.


“Oh … ini … hm … pokoknya kamu nggak perlu tahu!” kata Bang Indra sambil masuk ke kamar dan menutup pintu. Klik. Kudengar suara anak kunci berputar.


Hm, Bang Indra benar-benar tidak ingin aku tahu isi tasnya itu.


Aku segera turun ke bawah, menunggu saat buka puasa. Sepuluh menit kemudian adzan maghrib berbunyi. Kami sekeluarga segera berbuka. Termasuk Bang Indra. Aku bersikap seolah-olah tidak peduli dengan sikap Bang Indra tadi. Bahkan aku berangkat bareng dengan Bang Indra ke mesjid untuk sholat taraweh. Hanya saat ceramah, aku buru-buru pulang ke rumah dan menuju kamar Bang Indra.


Ufh! Dikunci!


Tenang. Aku punya kunci kamarku sendiri. Ya, aku pernah mencoba mencocokkan kunci kamarku ke beberapa lobang kunci di rumah ini. Ternyata dapat kupakai di puntu kamar Bang indra.


Klik! Pintu kubuka cepat. Buru-buru aku mencari tas yang dipakai Bang indra tadi. Hm, akhirnya kutemukan di kolong tempat tidur. Buru-buru aku membukanya. Dan ternyata isinya … Baju Badut!


HAH!


Aku buru-buru mengembalikan semuanya ke tempat semula. Tapi ketika hendak keluar kamar aku menbruk meja belajar Bang Indra. Koleksi mobil-mobilan Bang Indra terjatuh beberapa. Aku segera membereskannya, lalu keluar kamar.


Kembali ke mesjid, ceramah baru saja usai. Selamat, aku masih bisa sholat berjamaah.


Keesokan harinya aku langsung membuat rencana. Tepat pukul tiga sore, aku berdiri di depan kompleks, di tempat tersembunyi. Aku ingin tahu apa yang dilakukan Bang Indra.


Tak lama kemudian, Bang Indra muncul di depan kompleks lalu naik angkot. Aku mengikutinya di angkot berikutnya. Lalu ketika aku melihat Bang Indra turun di sebuah mall, aku pun turun. Kulihat Bang Indra masuk mall, aku mengikutinya.


Di dalam mall aku kebingungan. Kehilangan jejak Bang Indra. Sampai di dekat toilet, tiba-tiba ada yang menarikku.


“Wua!” aku berteriak, tapi buru-buru kutahan sebelum mengeras.


Yang menarik tanganku ternyata Bang Indra. Hanya dia memakai kostum badut. Hampir aku tak mengenalinya kalau Bang Indra tidak buru-buru mengedipkan mata.


“Ma … af ….”


“Mengapa masih mengikuti aku kalau kemarin sudah melihat isi tasku?” tanya Bang Indra.


“Jadi …”


“Ya, aku udah tahu kamu masuk ke kamar ekmaren. Soalnya kamu ceroboh membereskan mainan mobil di atas meja. Ada beberapa mobil menghadap ke barat. Padahal aku selalu memasangnya menghadap ke timur. Karena yang aneh sikapnya tadi pagi di meja makan Cuma kamu, makanya aku udah langsung curiga,” papar Bang Indra.


Aku jadi malu.


“Tadi juga aku tahu kamu membuntuti. Nah, sekarang kamu tambah yakin dengan apa yang kakak lakukan setiap sore. Ya, kakak bekerja di mall ini menjadi badut. Lumayan uangnya bias buat membanti ibu beli kue lebaran nanti,” kata Bang Indra.


“Kalau pekerjaannya halal, kenapa Bang Indra harus sembunyikan dari Ibu?” tanyaku.


“Pertama, aku yakin Ibu tidak akan memberi izin kalau aku bekerja karena aku masih sekolah. Kedua, aku tidak mau keluargaku malu karena aku bekerja jadi badut mall,” kata Bang Indra.


“Kenapa harus malu? Aku bangga kok punya kakak jadi badut. Daripada punya kakak pencuri, mendingan punya kakak badut!” seruku langsung.


Bang Indra tertawa sebentar. Lalu beberapa badut keluar dari toilet.


“Ayo, kita mulai kerja!” ajak salah satu badut.


“Selama bekerja, Bang Indra. Aku pulang duluan ya. Aku janji tidak akan meberitahu siapapun kalau Bang Indra bekerja jadi badut …”


“Kalau kamu tidak malu punya kakak jadi badut, kakak sih nggak keberatan juga kalau semua orang tahu kakak jadi badut. Bukankah jadi badut lebih baik daripada jadi pencuri?”


Aku mengangguk, lalu pulang dengan perasaan bangga terhadap kakakku. Ya, meski berpuasa, kakakku mau bekerja mencari uang tambahan.


***

No comments: