Friday, August 13, 2010

HORE, 15 Agustus 2010


Beduk, Alat Tabuh Populer di Bulan Puasa


Dug-dug-dug! Nah, kalian pasti tahu suara apa itu. Ya, bunyi beduk. Selama bulan puasa ini, suara beduk sangat akrab di telinga. Mulai dari sebagai penanda azan, hingga dipukul berulang-ulang saat pawai sahur. Tapi, apa sebenarnya beduk itu?


Beduk adalah sebuah alat tabuh berbentuk tambun berbahan kulit. Di Mandailing, ada beduk besar bernama Tabu yang disimpan di Gordang Sembilang yang biasa digunakan untuk sebuah upacara adat. Begitupun di Nias terdapat beduk yang disebut Fondahi, disimpan dalam sebuah rumah adat. Awalnya memang beduk digunakan sebagai sebuah alat musik yang dipukul untuk keperluan dalam sebuah upacara adat.


Kemudian, Wali Songo, Sembilan Orang Wali terkenal penyebar agama Islam di Pulau Jawa memanfaatkan beduk untuk kepentingan ibadah. Beduk itu mereka tempatkan di sebelah masjid atau surau dengan posisi digantung. Pemukulan beduk sebagai tanda shalat diperkirakan sudah dilakukan sejak abad ke-17. Salah satu contoh, sebuah beduk di Masjid Agung Sumedang telah ada sejak tahun 1850.


Mengenai asal mulanya, sebagian tokoh agama dan masyarakat meyakini bahwa beduk berasal dari China. Walau memang belum ada penelitian yang memastikan asal-usul beduk. Cheng Ho, laksamana dari propinsi Yunnan, China yang hidup masa Dinasti Ming, disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan alat tabuh ini ke Indonesia sekitar abad ke-15 Masehi. Di negeri asalnya, beduk dipakai sebagai sarana mengumpulkan massa atau iringan ritual keagamaan.


Beduk akhirnya punya tempat tersendiri dalam tradisi Islam, terutama di Jawa. Beduk juga begitu identik dengan masjid atau surau. Selain berfungsi sebagai tanda masuknya shalat, beduk juga bisa dipakai dalam berbagai peristiwa penting keagamaan, terutama menyambut Ramadhan dan Idul Fitri. Di Kudus, Jawa Tengah, menjelang datangnya bulan suci Ramadan ditandai dengan istilah beduk dandang atau dandangan, yaitu memukul beduk secara serentak dan dalam waktu bersamaan. Ketika ditabuh beduk itu menghasilkan bunyi dang-dang-dang.




Beduk Dandang difokuskan pada dua tempat yakni, Kudus Kulon dipusatkan di Masjid Menara dan Kudus Wetan yang berpusat di Masjid Agung Simpang Tujuh. Beduk Dandang pertama kali dilakukan pada 30 Syaban 956 H atau Senin Pahing, 1 Oktober 1549. Tanggal itu sekaligus ditetapkan sebagai hari jadi Kota Kudus. Begitupun di Masjid Agung Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, tradisi menabuh beduk pukul 24.00 memecah kesunyian malam yang semakin menyergap. Suaranya yang khas dan ditabuh dengan menggunakan langgam khusus menghasilkan irama yang cukup indah.



Tradisi


Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid III, 1988, disebutkan bahwa beduk yang menghasilkan kualitas suara bagus umumnya terbuat dari batang kayu atau batang pohon enau besar. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Kemudian, ujung yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berasal dari kulit sapi atau kerbau. Bila ditabuh, beduk seperti itu akan menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.


Meski beduk terlanjur melekat dengan masjid. Ketua Lembaga Musik Indonesia, Didied Herwani Mahaswara, memandang bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam alat musik perkusi, termasuk di dalamnya beduk. Setidaknya ada tradisi yang melekat di masyarakat berasal dari dua tradisi besar, yaitu tradisi Asia Kuno. Tradisi Asia Kuno yang beraliran shamanisme membawa musik ritual yang memakai gendang, gong, dan kecrek.


Didied yang juga andil dalam lahirnya parade beduk Sampoerna Hijau, menjelaskan bahwa jejak keberadaan beduk bisa dilihat pada relief candi Borobudur. Pada relief candi dapat dilihat adanya penyebaran gendang atau beduk berukuran kecil pada masa itu. Senada pula dengan pendapat etnomusikolog asal Belanda, Jaap Kunts, dalam bukunya Music in Java, 1920. Dalam buku tersebut dinyatakan kalau beduk sudah dipakai dalam gamelan sebagai pembawa tempo atau penegasan dinamik.


Di Banten, beduk digunakan sebagai parade seni yang menghibur, yakni diikuti beberapa orang penabuh beduk yang dijejerkan di lapangan sambil sedikit menari. Begitu juga Masjid Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jawa Barat setiap tahun menyelenggarakan tradisi lomba penabuhan beduk.


Kini, beduk memang telah memasuki arena bukan seputar mesjid dan surau saja tapi sebagai salah satu elemen kesenian yang bisa dikolaborasikan dalam bentuk instrumen musik dalam pentas panggung. Beduk ini banyak digunakan kelompok-kelompok musik yang mengusung pada nuansa Islam. Di Banten, misalnya, beduk digunakan dalam seni beduk. Beberapa orang menabuh beduk yang dijejerkan di lapangan sambil sedikit menari.


Bahkan kini para pemusik mengkolaborasikan suara beduk dengan alat-alat musik lainnya, seperti gitar, kibor, drum, sehingga membentuk irama yang indah dan apik.

(ben/berbagai sumber)


No comments: