Friday, March 02, 2012

Cernak, 4 Maret 2012



Simpankan Bulan, Bu

oleh Benny Rhamdani




"Ibu, kenapa hari ini tidak ada bulan yang bulat?"

"Karena Ibu mengambilnya dan menyimpannya di hati."

"Ah, Ibu. Simpan lagi bulannya di langit, Bu. Ayu ingin lihat lagi."

Ibu tersenyum.

Ayu masih ingat percakapan itu ketika masih sangat kecil. Sewaktu belum tahu tentang rotasi bumi dan segala pelajaran tentang bumi dan tata surya. Sekarang tentu saja Ayu sudah mengerti. Dan karena percakapan itulah Ayu jadi menyenangi bulan.

Sayang, Ibu sudah meninggal tiga tahun lalu karena sakit. Dan biasanya, jika Ayu merindukan Ibu, tinggal melihat bulan saja. Seperti malam ini.

"Ayu!" suara Ayah memanggil dan masuk ke kamar. "Ada teman Ayah datang. Mau kenalan sama Ayu."

Ayu berdiri lalu mengekor Ayah. Di ruang tamu Ayu melihat seorang wanita cantik bermata indah.

"Ini Ayu, ya? Kenalkan, Tante Winda," kata perempuan itu. "Ayu cantik sekali."

Ayu menyalaminya. Tante Winda malah memeluk Ayu. Rasanya hangat sekali.

"Tante Winda ini pintar melukis. Ayu bisa belajar ama tante Winda," kata Ayah.

"Oh ya?" mata Ayu berbinar. "Maukah Tante melihat lukisan Ayu?"

"Tentu dengan senang hati."

Ayu menarik lengan Tante Winda ke kamarnya. Dia langsung memamerkan sejumlah karyanya yang menempel di dinding.

"Semuanya bertema bulan. Hebat!" puji Tante Winda. Dia melihat semua lukisan tentang bulan. Tapi berbeda warna dan bentuknya. Ada yang sabit, setengah dan purnama. Ada yang menyelip di antara ranting pohon. Ada yang sangat kecil, ada yang besar.

"Ayu sangat suka bulan. Dulu ibu suka mengambil dan menyimpan di hatinya," jawab Ayu matanya berbinar.

"Semua lukisan ini istimewa. Ayu mau nggak bikin pameran? Nanti Tante bantu. Teman tante ada yang punya galeri."

"Mau-mau."

"Siapa tahu ada yang membelinya."

"Tapi Ayu nggak mau menjualnya."

"Oh, iya nggak apa-apa. Kalau pamerannya berdua Tante juga bisa. Tante punya beberapa lukisan juga tentang bulan," kata Tante Winda.

"Tante juga suka bulan?"

"Mama Tante yang suka. Makanya Tante diberi nama Winda Wulandari. Malah waktu kecil Tante suka dinyanyikan lagu Ambilkan Bulan."

Ayu tersenyum. Dia merasa punya orang yang sama kesukaannya.

Hari-hari berikutnya Ayu dan Tante Winda semakin akrab. Mereka sama-sama melukis, mereka juga mengurus rencana pameran di galeri. Satu bulan kemudian pameran lukisan mereka berdua digelar. aat pembukaan banyak yang datang. Terutama teman Ayah dan tante Winda. Juga ada beberapa wartawan. Keesokan harinya liputan pameran mereka bahkan masuk koran.

"Ayah ..."

Ayah yang sedang mengetik terkejut.Dia menghentikan pekerjaannya dan melihat Ayu. "Ada apa? Tumben jam segini belum tidur. Besok kan sekolah."

"Ayu mau meminta sesuatu boleh nggak?"

"Apa?" tanya Ayah.

"Ayu ingin Ayah menyimpan bulan di rumah ini."

"Hm, kan sudah banyak lukisan bulan di kamar Ayu."

"Bukan bulan itu. Tapi bulan yang bisa membuat Ayu senang. Bisa menemani Ayu, mengajari Ayu melukis, dan banyak lagi."

"Maksud Ayu apa? " Ayah bingung.

"Tante Winda Wulandari. Ayu ingin Ayah menikah sama Tante Winda, biar Ayu punya penganti Ibu."

Ayah langsung memeluk Ayu.

"Mudah-mudahan Ayah juga sama tante Winda," bisik Ayu.

Ayah tersenyum. "Ayah suka karena Tante Winda sayang sama Ayu. Tapi Ayah kan tidak tahu Tante Winda suka sama Ayah atau nggak."

"Pasti suka. Ayah kan ganteng dan baik hati. Ayo, Ayah tanya saja."




Ayah mengangguk. "Pasti Ayah tanya."

"Mudah-mudahan tante Winda mau. Amin."

Ayu meninggalkan kamar Ayah. Dia menuju ke kamarnya. Besok dia ingin melukis Tante Winda, bulan yang baru di hatinya. Ayu yakin Ibu tidak akan marah. karena Ayu yakin ibulah yang menyimpan bulan yang satu itu di hatinya.




^_^ 



 

No comments: