Hari Pertama di Sekolah Baru
Oleh Benny Rhamdani
Inilah
hari pertamaku di kelas baru. Kelas enam SD Teladan Palembang. Sebelumnya, aku
adalah murid SD Idaman Bandung. Aku
harus pindah sekolah karena papa ditugaskan menjadi kepala cabang sebuah bank
di Palembang.
Harusnya
aku masuk sekolah kemarin. Sama seperti murid-murid lainnya. Tapi, aku tidak
mau berangkat ke sekolah baruku. Mendadak aku sakit perut, tubuhku demam dan
aku tak mau bangun dari tempat tidur. Menurut Papa, aku sakit karena ketakutan
yang berlebihan harus jadi murid baru.
“Tidak
usah takut, Salman,” ucap Papa.
“Salman
takut nanti dikerjai sama murid-murid yang lama,” aku memberi alasan.
“Dikerjai itu biasa. Malah akan membuat kenSalmann indah.
Asal tidak mencelakimu, ya lakukan saja,” tambah Mama.
Papa lalu bercerita pengalaman menjadi murid saat SD dulu.
Papa pernah dikerjai, tasnya dimasukkan kodok. Akhirnya Papa pura-pura pingsan.
Teman-teman baru Papa kelabakkan. Niatnya mau mengerjai Papa, justru mereka
yang dikerjai Papa. Saat mereka panik dan ketakutan karena melihat papa
pingsan, tahu-tahu Papa pura-pura kesurupan. Membuat seisi kelas tambah panik.
Baru, ketika wali kelas datang, Papa tidak pura-pura.
“Kamu nanti bias memkai cara Papa kalau ada yang mengerjai,”
saran Mama seusai Papa bercerita.
Aku mengangguk dan setuju. Makanya hari ini aku tidak takut
lagi berangkat ke sekolah baruku. Bahkan Papa dan Mama hanya mengantar sampai
pintu gerbang. Berikutnya, aku mencari kelasku sebelum bel masuk berbunyi..
“Heh, kamu anak baru ya? Cari kelas berapa?” seorang anak
lelaki bertubuh gendut mendekatiku.
“Kelas enam,” jawabku.
“Oh itu yang di ujung dekat perpustakaan,” tunjuknya.
“Oh, terima kasih.” Aku langsung meninggalkannya. Tentu saja
aku tidak langsung percaya petunjuknya. Anak itu pasti mengerjai aku. Dia pasti
tidak menunjuk kelas enam. Mungkin kelas yang ditunjuk itu sebenarnya kelas
empat atau ima. Atau mungkin gudang.
Ah, kebetulan ada sosok guru. Aku pun menemuinya.
“Pak Guru, maaf. Saya murid baru ingin mencari kelas enam.
Bisa dibantu, Pak Guru?” tanyaku.
“Kelas enam di ujung sana, dekat perpustakaan!” tunjuk Pak
guru. Sama seperti yang ditunjuk anak gendut tadi.
“Oh, itu. Terima kasih.”
“Ya, sama-sama. Dan perlu kamu tahu, saya bukan Pak Guru.
Saya pegawai tata usaha sekolah.”
“Oh, maaf.” Ku jadi malu dan buru-buru pergi ke ruang kelas
yang ditunjuk tadi. Ufh! Rupanya anak gendut tadi nggak menerjai aku. Aku saja
yang sudah berprasangka. Ternyata kelas yang ada di hadapanku ini memang kelas
enam.
“Selamat pagi. Aku
murid baru di kelas enam. Apakah aku boleh tahu kursi yang kosong di kelas
ini?” tanyaku ketika bertemu dengan seorang murid perempuan.
“Oh, kamu ya murid baru pindahan dari Bandung itu? Bu Wanti,
wali kelas kita, kemarin sudah bilang. Namamu Salman Priatna, kan? Oh iya
namaku Salsa. Mungkin kamu bias duduk
dengan si Pitak. Tuh, yang di sisi kiri dekat jendela. Cuma bangku sebelahnya
yang masih kosong,” kata Salsa.
Aku mengucapkan terima kasih. Tapi aku ragu-ragu ketika
mendekati anak lelaki yang dipangil Pitak oleh Salsa. Tampannya seperti anak
nakal dan jahil. Mungkinkah ia akan menerjaiku nanti?
“Maaf, namaku Salman. Murid baru. Katanya …”
“Ya, kamu boleh duduk denganku. Bu Wanti sudah bilang
kemarin. Silakan. Namaku Pitak. Sebenarnya nama asli Ahmad Taufik. Tapi biasa
dipanggil Pitak. Namamu Salman, kan?” katanya sambil tersenyum.
“Iya.” Aku menyimpan tasku hatri-hati, lalu duduk perlahan.
Ya, siapa tahu mereka sudah kompak akan mengerajiku. Mereka meletakkan kursi
yang patah atau ada permen karetnya. Jadi aku mesti hati-hati.
“Kamu kenapa tegang? Jangan takut, di sini tidak ada yang
menggigit,” ujar Ahmad Taufik. Ya, aku akan memanggilnya begitu. Rasanya tidak
enak memanggilnya Pitak.
Aku tak menyahuti gurauan Ahmad Taufik. Aku duduk di
tempatku sambpai bel berbunyi. Bu Wanti masuk kelas dan kemudian
memperkenalkanku. Hm, ternyata tidak ada acara-acara konyol seperti yang
kubayangkan. Semua biasa saja. Malah Bu Wanti langsung mengajar.
Saat isitirahat tiba, aku tidak melihat tanda-tanda teman
baruku akan mengerjai aku. Mereka hanya menyapaku seperlunya lalu sibuk pergi
ke kantin. Ahmad Taufik mengajakku ke kantin sekolah juga, tapi aku menolaknya.
Lima menit kemudian, aku menyesal karena perutku terasa lapar.
Akhirnya aku menyusul ke kantin seorang diri. Letak kantin
ternyata dekat dengan ruang guru. Dan sangat penuh! Aku jadi bingung. Heh, tapi
itu Ahmad Taufik….?
“Ahmad Taufik!” aku berteriak memangilnya. Tapi teman
sebangkuku itu tidak menoleh. “AHMAD TAUFIK!” aku berteriak lebih keras lagi.
Beberapa murid di sekitar kantin menoleh ke arahku. Mungkin karena keras
suaraku. Tapi orang yang kumaksud tidak menoleh.
“AHMAAAAAD TAUFIIIIK!” Aku berteriak lagi lebih keras dan
panjang.
“Ada apa, nak?”
Aku terkejut mendengar suara di belakangku. Saat menoleh,
aku melihat sesosok tubuh tegap berkumis dengan papan nama di dada kanannya
bertuliskan: AHMAD TAUFIK.
“Ma …af … Bapak ….”
“Bapak wakil kepala sekolah di sini. Nama bapak adalah Ahmad
Taufik ….”
“Ta … ta …pi saya bukan memanggil bapak. Saya memanggil itu
… teman saya di kelas enam,” kataku sambil menunjuk ke arah kantn.
“Ooooh .. ya sudah. Kalu begitu temui saja. Jangan teriak-teriak,”
kata bapak wakil kepala sekolah sambil meninggalkanku.
Aku pun buru-buru mendekati Ahmad taufik yang kumaksud.
“Wah, kamu hebat bisa bicara dengan gur paling galak di
sekolah ini. Nah, lain kali jangan panggil nama lengkapku. Karena nama lengkapku
sama dengan bapak wakil kepala sekolah. Panggil saja aku Pitak. Aku nggak akan
marah kok!” katanya kemudian.
Aku manggut-manggut.
Kalian tahu apa reaksi Mama dan Papa ketika kuceritakan
pengalaman petamaku di sekolah baru? Mereka tertawa. Hehehe, aku juga!
No comments:
Post a Comment