Thursday, October 18, 2012

CERNAK, 21 Oktober 2012



Saksi Mata
 oleh Benny Rhamdani

Sudah beberapa minggu terakhir ini, anak-anak Pondok Jati gemar bermain sepak bola. Mereka bermain di tanah kosong di sebelah rumah Pak Wirja setiap selepas shalat Asar. Termasuk Dudi, yang biasanya lebih senang bermain kasti. Rupanya, kebiasaan Dudi bermain kasti terbawa pada permainan sepak bola. Beberapa kali bola yang harusnya ditendang dan disundul malah dipegangnya.

“Dudi, sebaiknya kamu jadi penjaga gawang saja kalau nggak bisa menahan tanganmu agar tidak me-megang bola!” seru Jaya yang ber-tubuh besar.
“Aku nggak mau,” tolak Dudi. Apa enaknya jadi penjaga gawang? Pikirnya, nggak ada kesempatan memasukkan bola ke gawang lawan.
“Kalau jadi penjaga gawang, kamu boleh menangkap bola,” timpal Jaya.
“Daripada jadi penjaga gawang, lebih baik aku pulang,” ancam Dudi.
“Pulang saja sana! Masih ada yang akan menggantimu!” Jaya meng-usir tegas.
Dudi langsung memutar tubuh. Beberapa temannya ada yang mencoba menahannya. Tetapi, Dudi berkeras hati meninggalkan lapangan.
“Alaaa … sudah, biar saja dia pulang!” teriak Jaya.
Anak-anak kembali bermain seolah tidak ada pertengkaran antara Dudi dan Jaya. Pulangkah Dudi? Ternyata tidak. Ia bersembunyi tak jauh dari pagar rumah Pak Wirja. Dipu-ngutnya sebuah batu. Dan, peristiwa yang ditunggunya terjadi.
Jaya menendang bola dengan keras seperti biasanya. Bola itu melompati pagar pembatas samping rumah Pak Wirja. Bersamaan dengan itu, Dudi melempar batu yang digeng-gamnya.
Prang!!! Dudi segera kabur begitu mendengar bunyi kaca jendela yang pecah. Tiba di rumah, Dudi langsung mandi, kemudian duduk santai di kamarnya sambil membaca komik.
Namun, ia terkejut karena ibu tiba-tiba memanggilnya. Dilihatnya Santi datang bersama Firman, teman-nya bermain sepak bola tadi.
“Ada apa, San? Tumben datang kemari,” sapa Dudi sambil meminta mereka duduk di teras.
“Bukan aku yang perlu, tapi Firman,” timpal Santi buru-buru.
“Maksudku ke sini untuk minta tanggung jawabmu,” susul Firman langsung.
Dudi mengernyitkan dahinya.
“Tentang kaca jendela Pak Wirja yang kamu pecahkan,” sambung Firman.
“Apa? Jangan main tuduh sem-barangan! Kapan aku memecahkan kaca jendela Pak Wirja? Apa ada buktinya?” Dudi mengelak.
“Buktinya ada,” Firman menyo-dorkan batu yang terus dibawanya. Batu itu tadi diberikan Pak Wirja. “Kamu tadi tidak langsung pulang setelah ber-tengkar dengan Jaya. Kamu sengaja mencari cara untuk membalas sakit hatimu pada Jaya. Kita semua tahu, Jaya sering menendang bola dengan keras hingga masuk ke halaman rumah Pak Wirja. Tapi, selama ini belum pernah memecahkan kaca jendela. Lalu, kamu menunggu Jaya melakukan tendangan keras. Begitu bola itu melambung ke pagar rumah Pak Wirja, kamu melemparkan batu ke jendela itu. Seolah-olah kaca jendela itu pecah karena bola. Begitu, bukan?”
“Mengapa aku yang mesti di-tuduh?” tolak Dudi.
“Pertama, kamu baru saja ber-tengkar dengan Jaya. Kedua, batu yang ditemukan di dekat jendela itu ukur-annya menyerupai bola kasti. Tanpa sadar, kamu memilihnya agar mudah melemparkannya. Semua anak di kampung ini tahu, kamulah yang paling jago melempar bola kasti,” papar Firman.
“Itu hanya dugaanmu saja. Belum kuat kalau nggak ada saksi yang melihatnya,” sanggah Dudi berkeras hati.
“Saksinya ada. Akulah yang melihat semua perbuatanmu,” Santi menyela.
Santi sedang membaca di teras balkon rumahnya saat memergoki gelagat aneh Dudi. Dengan penuh kesadaran, ia menemui Firman begitu kelompok anak-anak yang bermain bola itu dimarahi dan diusir Pak Wirja.
Dudi menelan ludah menyadari kebodohannya. Ia baru ingat kalau rumah Santi berseberangan dengan rumah Pak Wirja.
“Masih mau mengingkari?” tanya Firman.
Dudi menggeleng. “Maafkan aku. Tadi, aku benar-benar sedang kesal,” malu-malu Dudi mengakuinya.
“Jangan minta maaf padaku saja! Kamu harus minta maaf pada teman yang lain karena gara-gara kamu, kami semua dimarahi Pak Wirja. Kamu juga harus minta maaf pada Pak Wirja dan menjelaskan semua yang terjadi. Dan tentu saja, kamu harus mengganti kaca jendela yang pecah itu. Kamu berani melakukannya?” tanya Firman.
Dudi mengangguk sambil meng-garuk kepalanya.
“Hehehe, tentu saja Dudi berani. Masa, sih, berani berbuat nggak berani bertanggung jawab. Bukan kesatria, dong, namanya …!” seru Santi sambil tersenyum.
Dudi mengangguk lagi. Mukanya bertambah pucat. Uh, semua gara-gara ia tidak bisa menahan kekesalannya, rutuk Dudi dalam hati.

No comments: