Friday, March 21, 2014

Cernak 23 Maret 2014





Topi Penyihir

Sore ini Hana berencana mengunjungi Paman Sam. Hana mengajak sahabatnya, Ino.

“Ada keperluan apa kita ke sana?” tanya Ino.

“Paman akan mengajariku menyihir,” jawab Hana.

Ino langsung guling-gulingan di lantai sambil tertawa. “Lucu banget. Memangnya jaman sekarang masih ada tukang sihir?” tanya Ino.

“Silakan saja tertawa. Nanti setelah bertemu pamanku, pasti kamu kaget,” kata Hana.

Ino penasaran. Dia mau saja diajak Hana ke rumah Paman Sam. Letak rumah Paman Sam sekitar satu jam lamanya dengan menggunakan bis. Ino tambah tidak percaya ketika Hana mengajaknya turun di depan sebuah apartemen.

“Pamanmu tinggal di apartemen?” tanya Ino.

“Iya,” jawab Hana singkat.

Ino lagi-lagi tertawa. “Penyihir bukannya harus tinggal di hutan, puri misterius, goa,” sahut Ino.

Hana tak membalas. Dia berjalan menuju apartemen diikuti Ino. Setelah melapor ke penjaga apartemen, mereka diizinkan menuju kediaman Paman Sam. Mereka pun masuk ke dalam lift.

Hana menekan tombol sembilan dan sepuluh. Ino bingung.

“Lho, kita mau ke lantai sembilan atau sepuluh?” tanya Ino.

“Kita lihat saja,” jawab Hana.

Lift pun naik. Pintu lift terbuka di lantai sembilan. Hana tak mengajak Ino keluar sampai pintu lift tertutup. Lift kembali naik. Tapi belum sampai lantai sepuluh, pintu lift sudah terbuka. “Ini lantai sembilan setengah. Khusus untuk kediaman para penyihir,” jelas Hana.

Ino terbelalak ketika melihat lantai sembilan setengah. Dia seperti memasuki sebuah daerah pegunungan yang sejuk. Pepohonan tumbuh lebat di sekitarnya. Dia melihat beberapa kastil berjajar rapi di sisi jalanan.

“Yang itu tempat tinggal Paman Sam!” tunjuk Hana ke sebuah kastil berwarna biru.

Ino yang masih takjub hanya bisa mengikuti langkah Hana. Pintu kastil terbuka otomatis begitu mereka mendekat. Sesosok pria berwajah ramah menyambut kedatangan mereka. Hana langsung memeluknya.

“Paman, kenalkan ini sahabatku. Namanya …”

“Ino, kan?” terka Paman Sam.

Ino takjub Paman sam bisa mengetahui namanya.

“Aku membaca namamu di topi yang kamu pakai,” jelas Paman Sam.

Paman Sam mengajak mereka ke ruang kerjanya. Sebuah ruangan yang penuh alat musik. Ino bingung, mengapa tidak ada alat-alat sihir?

Tiba-tiba Paman Sam bertepuk tangan. Prok-prok. Semua alat musik di ruangan itu berubah menjadi laboratorium.

“Sekarang aku akan mengajari kalian sihir. Tapi tunggu dulu ya… aku harus memakain topi sihirku,” kata Paman Sam sambil mencari-cari topinya.

Hana dan Ino ikut mencari topi Paman Sam. Setelah sekian lama, tak ada yang berhasil menemukannya.

“Aduh, paman lupa nih. Di mana ya paman simpan topi sihir itu,” ucap Paman sam bingung sambil menggaruk kepalanya.

“Memangnya paman tidak bisa pakai topi lainnya?” tanya Ino.

“Bisa. Tapi paman banyak mantra yang lupa. Tapi itu adalah untuk mengingat semua mantra sihir,” jelas Paman Sam.

“Kalau begitu harus kita cari,” kata Hana.

Mereka pun mencari lagi. Kali ini malah sampai ke luar kastil. Tapi tetap saja tidak ada yang menemukannya.

Sampai kemudian datang seorang Ibu mendekati Paman Sam. Ibu itu menjinjing sebuah tas.

“Selamat sore, Paman Sam. Sedang apa dengan teman-teman kecilmu ini?” tanya ibu itu.

“Aku sedang mencari topi sihirku,” kata Paman Sam. “Sudah kucari-cari tapi tidak ketemu juga.”

“Tentu saja tidak akan ketemu. Bukankah dua hari lalu Paman Sam menyerahkan kepadaku untuk menjahitkan pinggir topinya yang sobek?” tanya Ibu itu.

Paman Sam menempuk dahinya. Ia baru ingat. “Oh iya… betul itu. Terima kasih Bu Nensi,” kata Paman Sam.

Bu Nensi mengeluarkan topi dari tas jinjingnya. Ia menyerahkan topi itu kepada Paman Sam.

“Hore topiku kembali!” sorak Paman Sam. “Ayo kita kembali ke laboratoriumku!” Paman Sam berjalan menuju pintu masuk.

“Paman, sepertinya Paman kelupaan sesuatu,” kata Hana.

“Apaan?” tanya Paman Sam.

“Paman belum berterimakasih kepada Bu Nensi. Dan kupikir, Paman juga harus membayar ongkos jahitnya,” kata Hana.

Paman Sam ketawa. Dia melihat Bu Nensi masih berdiri di halaman rumah. Paman Sam langsung memberikan uang dan mengucapkan terima kasih kepada Bu Nensi.

“Kurasa aku tahu kita harus belajar sihir apa pertama kali,” kata Ino.

“Apa?” tanya Hana.

“Menyihir Pamanmu agar tidak gampang lupa,” jawab Ino sambil tersenyum

No comments: