Friday, June 17, 2016

Cernak, 19 Juni 2016

Sahur Aga

Oleh Benny Rhamdani


“Aga, jam berapa nanti kamu bangun?” tanya Haris sepulang sholat taraweh hari pertama.

“Terserah ibuku yang membangunkan,” jawab Aga.

Haris tertawa. “Bagaimana sih? Masa nunggu dibangunkan ibumu. Mestinya kamu bangun lebih awal, lalu nanti kita ikut pawai bedug keliling kampung membangunkan yang sahur,” kata Haris.

“Itu bukannya hanya dilakukan orang dewasa?” tanya Aga.

“Kata siapa? Kita juga boleh ikutan kok. Asyik lho. Kita bisa membantu membangunkan orang lain untuk sahur. Tahun lalu aku sudah ikutan. Sekarang jua mau ikutan. Kamu mau?” ajak Haris.

“Ya, kalau kamu ikut aku ikutan ya.”

“Jangan molor ya. Pukul dua aku tunggu di depan rumahmu,” kata Haris.

Mereka berpisah di pertigaan jalan karena berbeda arah. Setiba di rumah Aga langsung mengutarakan keinginannya ikutan pawai sahur kepada Ayah. Tentu saja Ayah tidak keberatan.

“Ayah juga pengin ikutan. Tapi Ayah ada acara pagi harinya. Ayah harus cukup tidur. Mungkin Mingu depan Ayah baru ikut.,” ucap Ayah.

Aga mengangguk. Dia juga tidak menghendaki ayahnya ikutan. Hm, sebab kalau ada Ayah pasti selalu banyak larangan. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Maksudnya sih baik. Tapi Aga merasa jadi tidak bebas.

Atas saran Ibu, Aga tidur pukul sembilan. Aga berharap semoga dia tidak terlambat bangun. Malu sama Haris nanti. Dan, mungkin karena terlalu cemas, pukul satu dini hari Aga sudah terbangun. Lebih cepat satu jam yang dari yang diinginkan. Tapi untuk kembali tidur, Aga tidak berani.

Nanti malah terlambat bangunnya, pikir Aga. Akhirnya Aga berusaha terjaga. Dia mencuci muka dan menunggu datangnya pukul dua dengan membaca komik. Tepat pukul dua, Aga pergi ke luar rumah. Haris belum datang, tapi tak lama kemudian Haris muncul bersama beberapa teman.

“Ayo, kita ke mesjid mengambil bedugnya!” ajak Haris.

Aga mengikuti rombongan menuju mesjid. Sudah ada beberapa orang dewasa yang menyiapkan perlatan pawai sahur. Tak lama kemudian, mereka pun berkelililing perumahan.

“Sahuuuur … sahuuuur!” teriak Aga bersama yang lain berirama.

Mereka juga memukul beduk dan apapun yang berbunyi. Diharapkan dengan bunyi-bunyian tersebut, penduduk yang hendak sahur terjaga. Terutama kaum ibu yang harus bangun lebih dulu, menyiapkan makanan sahur.

Aga menikmati pawai sahur. Apalagi ketika dia diperbolehkan memukul beduk bertalu-talu. Seru sekali.

Setelah berputar-putar, entah pukul berapa rombongan pun berpencar. Mereka harus kembali ke rumah masing-masing. Aga masuk ke rumah. Ayah sudah bangun, Ibu masih memasak. Tapi adiknya, Salsa, masih tertidur pulas.

Aduh, masih ada waktu … masakan belum selesai, pikir Aga. Matanya tiba-tiba terasa berat melihat Salsa tertidur lelap. Aga pun merebahkan tubuhnya di samping Salsa.
Ia ikut tertidur. Bahkan Aga bermimpi. Mau tahu Aga mimpi apa? Dia mimpi naik pesawat terbang, tapi ketika asyik terbang kapalnya terguncang. Aga kemudian terbang melayang di awan, lalu tahu-tahu berada di negeri yang indah.

Entah jam berapa Aga terbangun. Yang jelas Salsa sudah tidak ada di dekatnya. Matahari sudah terang benderang.

“Hah sudah jam delapan pagi?!” teriak Aga kaget.

Lho, aku belum sahur? Kenapa Ibu tidak membangunkan aku? Tanya Aga dalam hati. Buru-buru Aga ke luar kamar dan mendapatkan Ibu yang tengah membaca.

“Ibu … Aga kok tidak diajak sahur?” protes Aga kemudian.

“Oh, Aga sudah bangun. Ibu dan Ayah sudah membangunkanmu. Tapi kamunya malah marah-marah. Jadi Ayah dan Ibu pikir kamu tidak mau sahur,” jelas Ibu.

“Aga kan mau puasa, pasti mau sahur.”

“Ya, kalau mau puasa, silakan saja puasa. Nanti kalau tidak kuat boleh buka jam berapa saja. Kamu masih kelas tiga SD, masih Ayah dan Ibu izinkan puasa setengah hari!”

Uuuuh! Aga mengeluh dalam hati. Padahal ia sudah berniat puasa sehari penuh tahun ini. Dia tidak mau kalah sama Haris. Ini semua gara-gara Aga terbangun terlalu cepat, jadinya malah mengantuk saat waktu sahur. Hm, bisa ya, orang yang membangunkan sahur malah tidak sahur!

Ngomong-ngomong, Aga jadi puasa nggak ya?

No comments: