Friday, May 18, 2007

Cernak, 20 Mei 2007



Kentang Kebencian

Oleh Benny Rhamdani

Kalian punya dua teman di kelas yang saling bermusuhan? Aku punya. Namanya Dion dan Ardi. Aku tidak tahu asal mula mereka bermusuhan. Tapi mereka sejak pertama aku kenal, sudah saling membenci.

“Dasar gorilla! Lihat-lihat dong kalau jalan!” teriak Ardi.

“Cacing kepanasan, makanya kalau kurus jangan berdiri menghalangi jalan!” Dion tak kalah pedas berteriak.

Ya, itu hanya sebagian kata-kata yang selalu mereka ucapkan saa bertengkar. Mereka kemudian berkelompok. Dion membuat kelompok dengan beberapa anak, juga Ardi. Kalau bertengkar juga mulai berkelompok.

Sebagai ketua kelas jelas aku bingung. Aku tidak mau berpihak di satu pihak. Tapi aku tidak pernah berhasil mendamaikan mereka. Ya, pernah juga mereka berdamai. Sayangnya, cuma untuk satu hari.

Akhirnya, aku menorah. Aku mengadukan soal Dion dan Ardi ke wali kelas kami, Bu Aisah.

“Jadi mereka sampai sakarang masih bermusuhan?” tanya Bu Aisah yang dua hari lalu sudah berusaha mendamaikan Dion dan Ardi.

Aku mengangguk.

“Ben, sekarang kembali ke kelas. Biar nanti Ibu cari jalan keluar lainnya,” kata Bu Aisah.

Aku pun kembali ke kelas. Ak lama kemudian Bu Aisah masuk ke kelas.

“Ibu akan memberi tugas kepada kalian, besok jangan lupa membawa kentang,” kaa Bu Aisah.

“Berapa banyak, Bu?” tanyaku.

“Sebanyak orang yang kalian benci. Minimal satu buah,” kata Bu Aisah.

Aku dan penghuni kelas lainnya kaget. Namun kami tak bertanya lagi.

Esok harinya seisi kelas lima membawa kentang. Jumlahnya beraneka macam. Paling sedikit ya satu. Termasuk aku. Sebenarnya aku tidak ingin membawa kenang karena aku tidak merasa membenci seseorang pun.

“Nah, sekarang keluarkan kentang yang dibawa. Silakan, tuliskan satu nama yang kalian benci di kelas ini di setiap kentang. Lalu kentang itu disimpan kembali di tas. Seiap hari Ibu akan memeriksa kenang kalian. Jangan ada yang pernah menukarnya,” jelas Bu Aisah.

Kami langsung menurui kata-kata Bu Aisah. Aku bisa menebak nama yang akan ditulis Dion dan Ardi.

Hari demi hari, kentang itu kami bawa ke sekolah. Lama kelamaan, kami mulai terganggu dengan bau kentang yang membusuk. Apalagi yang menulis banyak nama di banyak kentang. Tapi Bu Aish tetap melarang kami menukar dengan kentang yang lain. Sampai akhirnya, kami benar-benar tidak tahan dengan kentang yang kami bawa.

“Nah, Ibu izinkan kalian membuang kentang di tas kalian, asalkan kalian memina maaf dan memaafkan kesalahan orang yang namanya kalian tuliskan di kentang. Kenang itu adalah lambing hati kalian. Jika kalian membiarkan kebencian ada di hati kalian, maka akan tercium bau busuk dari hati kalian yang tidak disukai siapapun,” kata Bu Aisah.

Aku langsung meminta maaf kepada Ardii karena aku menulis namanya di kenang. Anak-anak lain juga melakukan hal sama. Seelah itu kami membuang kentang-kentang busuk iu. Kini tinggal Ardi dan Dion yang masih menyimpan kentang.

“Ayolah, kalian bemaafan. Kami tidak suka ada bau kentang busuk di kelas ini,” teriak yang lain.

Makin lama teriakan itu makin ramai. Tapi Dion dan Ardi tak mau bermaafan. Bu Aisah tidak marah. Dion dan Ardi diharuskan teap membawa kentang masing-masing.

Keesokan harina, aku dan seisi kelas sudah bersiap menutup hidung ketika Ardi dan Dion masuk. Pasti bau sekali! Tapi …

“Heh, kenapa kalian idak membawa kentang masing-masing …?” tanyaku.

“Kami sudah membuangna kemarin,” kata Ardi dan Dion bareng.

“Kami tidak akan membiarkan hati kami membusuk,” kata Ardi.

“Mulai sekarang kami bersahabat,” tambah Dion.

Aku senang mendengarnya. Mudah-mudahan perdamaian ini akan berlangsung selamanya.

^-^

No comments: