Friday, June 01, 2007

Cernak, 3 Juni 2007


Jangan Lewat Sana!

Oleh Benny Rhamdani

“Jangan lewat sana!”

“Kenapa?” Aku heran Danil malah menyuruh kami berjalan lurus, bukannya belok.

Di perempatan jalan ini, baik lurus maupun belok kanan nantinya akan tiba ke rumah Danil. Cuma kalau jalan lurus akan lebih jauh jaraknya. Jalan lebih singkat ya belok kanan.

“Aku mau ke toko Pak Ahmad dulu,” jawab Danil.

“Di dekat rumahmu kan ada minimarket. Jauh lebih lengkap,” kilahku.

“Aku sudah cari kok. Barangnya nggak ada di sana,” kata Danil.

Kami mengayuh sepeda masing-masing lebih cepat. Rencananya, pulang les ini Danil ingin meminjami aku buku cerita serial Kelas Ajaib. Aku sudah baca seri pertamanya, Inilah kelas Paling Ajaib. Sangat bagus ceritanya. Nah, Danil sudah membeli dua buku lainnya dari seri itu, yakni Makin Seru di Kelas Ajaib dan Saatnya Menjerit.

Menjelang Toko Pak Ahmad aku memelankan kayuhan. Soalnya Danil kan harus ke toko itu. Tapi …

“Katanya mau ke toko Pak Ahmad dulu?” tanyaku heran karena Danil melewati begitu saja toko Pak Ahmad.

“Aku lupa bawa uangnya,” jawab Danil cepat seperti sudah menyiapkan sejak lama.

Kami mengayuh sepeda lebih cepat lagi. Kalau lewat jalan yang belok kanan tadi, mungkin kami sudah sampai. Lewat jalan ini kami harus memutar lagi. Untung kakiku masih baik-baik saja ketika sampai rumah Danil. Dan rasa capekku terbayar dengan dua buku yang dipinjamkan Danil.

Aku pulang buru-buru setelah mendapat dua buku dari Danil. Aku ingin sampai rumah sebelum magrib. Tentu saja aku tidak mau mengambil jalan memutar. Aku lewat jalan yang lebih dekat.

“Andi!”

Aku mendadak menerem sepadaku. Aku menoleh. Kulihat teman sekelasku, Tora, datang mendekat setengah berlari.

“Dari mana kau?” tanya Tora.

“Rumah Danil pinjam buku.”

“Oh … kok tadi tidak kulihat lewat sini?” Tora bertanya lagi.

“Mutar.”

“Oh ….”

“Aku pulang ya. Harus buru-buru sampai rumah,” kataku. Setelah Tora mengangguk aku langsung melanjutkan kayuhan sepedaku.

Keesokan paginya di kelas aku langsung berkomentar tentang buku yang kupinjam. Belum tamat semua kubaca, tapi aku ingin mengomentarinya ketika jam istirahat.

“Danil, aku suka bukunya. Memang benar katamu, lebih asyik. Aku jadi makin penasaran. Oh iya, waktu pulang kemarin aku bertemu Tora.”

“Oh iya? Dia bilang apa saja?”

“Tidak ada yang penting sih,” kataku.

“Jangan ke sana! Kita ke kantin lain saja,” kata Danil tiba-tiba.

Kami tengah berjalan menuju kantin. Ada dua kantin di sekolah. Satu berjalan lurus dari koridor sekolah di dekat meshola, satunya lagi berbelok dekat perpustakaan.

“Lho, katamu nggak suka jajanan di kantin dekat perpustakaan?” tanyaku heran.

“Sesekali kan nggak apa-apa,” jawab Danil.

Aku menurut saja. Aku memang terbiasa jajan bareng Danil di saat istirahat. Lumayan mengirit uang sakuku, karena Danil suka mentraktir.

Tiba di kantin dekat peprustakaan, Danil kelihat bingng memilih jajanan. Kalao di kantin dekat mushola biasanya Danil akan memesan batagor atau mie ayam. Tapi di kantin ini tidak ada. Lebih banyak kue-kue basah dan kering.

Akhirnya Danil mengambil roti keju dan teh botol, begitu juga aku. Lalu Danil membayar semuanya. Sepertinya Danil kurang puas dengan acara mengisi perut istirahata kali ini. Tapi makanan yang dijualtidak disukainya. Akhirnya kami kembali ke kelas.

“Danil, kamu menganggap aku sahabat, kan?” tanyaku begitu duduk di kelas.

Danil mengerutkan keningnya. “Tentu saja. Kalu tidak, untuk apa aku meminjamkan buku-bukuku kemarin, juga mentraktirmu jajan tadi,” kata Danil.

“Iya. Tapi sahabat itu nggak Cuma meminjam atau membelikan sesuatu,” kataku.

“Maksudmu?” Danil heran.

“Sebenernya ada masalah apa sih? Kamu merahasiakan sesuatu dariku. Iya, kan?” tanyaku lagi.

Danil terdiam, lalu mengangguk.” Bagaimana kamu tahu?”

“Iya, soalnya dari kemarin kamu selalu aneh. Sepertinya kamu sedang menghindari seseorang. Kamu kemarin mengajak berputar, lalu hari ini menghindari kantin dekat mushola. Siapa orang yang kamu hindari itu?” tanyaku.

“Tora,” jawab Danil.

“Hah? Tora? Bukankah kalian sudah bermaafan?” tanyaku.

Ya, kemarin memang Danil dan Tora bertengkar di kelas. Gara-gara Tora meledek Danil karena mendapat nilai jelek di ulangan matematika. Mneurut danil, biarpun jelek ia sudah berusaha mengerjakannya sendiri. Sedangkan Tora mendapat nilai bagus karena mencontek dari Aga, teman sebangkunya.

Bu Aminah langsung melerai mereka. Keduanya kemudian diminta saling emmaafkan dan bersalaman. Ya, kupikir masalahnya berhenti sampai situ.

“Aku masih dendam sama Tora. Bahkan aku membencinya,” kata Danil.

“Ah … mudah-mudahan jangan lama-lama mendendam dan membenci nya. Soalnya kita yang akan rugi,” kataku.

“Kok kita yang rugi?” Danil heran.

“Iya. Jadinya kita selalu berusaha menghindari orang yang kita benci itu. Ke mana-mana kita berusaha menghindarinya. Akhirnya kita sendiri yang capek dan kesal, sementara orang itu belum tahu kita mbenci atau tidak,” jelasku.

Danil terdiam sebentar. “Ya, sebenarnya aku tidak mau membenci Tora. Tapi setiap aku ingat kejadian itu, aku jadi membencinya,” kata Danil kemudian.

“Nah, sekarang jangan ingat yang kemarin. Coba ingat kebaikan-kebaikan Tora. Ingat, dulu siapa yang membantu kamu ketika jatuh dari sepeda dan hampir ditabark truk. Lalu siapa yang datang hujan-hujan ke rumahmu mengantar kalkulatormu yang tertinggal di kelas? Tora, kan?”

Danil mengangguk. “Ya, Tora juga yang pertama menjenguk aku ketika sakit demam berdarah tahun lalu, bahkan dia yang mencarikan aku jus jambu batu. Dan … duh lebih banyak kebaikan Tora ketimbang hal-hal yang menjengkelkan darinya,” kata Danil.

“Ya, sudah. Jangan hanya satu kesalahan, kita lupakan ekbaikannya yang banyak itu. Apalagi kalians udah saling memaafkan,” kataku sambil menarik napas.

“Terima kasih, Andi. Kamu telah mengangatkan aku. Kamu memang sahabat sejatiku,” kata Danil.

Aku tersenyum. Inilah enaknya punya seorang sahabat. Aapakah kalian juga punya sahabat?

^-^

No comments: