Tuesday, February 24, 2009

Cernak, 1 Maret 2009


Danau Angker

Oleh benny rhamdani


Yoshiko tidak menyukai perjalanan liburannya kali ini. Papa dan Mama mengajaknya berkunjung ke desa mereka dulu. Letak desa itu bukan hanya jauh, tapi jalannya naik-turun dan berkelok-kelok. Membuat Yoshiko mual sepanjang perjalanan.

“Papa, boleh berhenti sebentar? Aku rasanya tidak kuat lagi menahan muntah,” kata Yoshiko.

Papa menghentikan mobilnya ke pinggir. Gadis kecilnya itu kemudian keluar mobil, mengeluarkan sebagian isi perutnya.

“Kau tidak apa-apa kan, Yoshiko?” tanya Mama mendekat.

Yoshiko menatap Mama sambil mengerutkan bibirnya. “Tidak apa-apa, Ma. Ususku masih di tempatnya,” kata Yoshiko. Mama ini bagaimana sih? Sudah tahu aku mual dan muntah, masih ditanya tidak apa-apa, kata Yoshiko dalam hati.

Mama tersenyum. “Lihatlah pemandangan di depanmu. Siapa tahu bisa menghiburmu sedikit,” kata Mama.

Yoshilko yang sejak tadi tak memerhatikan sekelilingnya langsung mengamati pemandangan di depannya. Sebuah danau luas terbentang di matanya. Tapi masih tampak jauh untuk mencapai tepinya. Pantulan cahaya matahari sore membuat permukaan danau itu tampak keperakan.

“Sebentar lagi kita sampai,” kata Mama.

Kabar baik. Aku sudah tidak tahan lagi di perjalanan. Tidak bisakah kita naik karpet terbang saja? Yoshiko bergumama dalam hati.

Yoshiko tidak berani menunjukkan kekesalannya. Sebelum liburan, Yoshiko sudah berjanji jika nilai di sekolahnya jelek akan menuruti rencana liburan Papa dan Mama. Tapi kalau nilai di sekolahnya bagus, Yoshiko ingin pergi ke Disneyland. Ternyata nilainya jelek!

“Aku ingin jalan-jalan di sini sebentar,” pinta Yoshiko. Udara segar membuat perutnya lega.

“Ya, tapi jangan jauh-jauh,” kata Mama.

Yoshiko berjalan menapaki jalan yang ada sambil memetik bunga-bunga liar yang indah.

“Hey, jangan petik bunga-bunga itu!” suara itu mengejutkan Yoshiko.

“Kenapa?” tanya Yoshiko ketika tahu suara itu milik anak lelaki kampung yang sedang lewat di dekatnya.

“Getahnya akan membuat jarimu gatal seharian jika tidak hati-hati,” jawabnya.

Oh. Yoshiko langsung mebuang bunga di tangannya. “Terima kasih sudah memberitahuku,” kata Yoshiko.

“Ya. Kamu dari kota ya? Mau ke mana?” tanya anak lelaki itu.

“Ke rumah Paman Teiji.”

Muka anak lelaki itu langsung berubah seperti yang ketakutan.

“Kenapa memangnya?” tanya Yoshiko.

“Ng … tidak apa-apa. Cuma … kata orang sekitar danau dekat rumah Paman Teiji itu angker. Sering ada suara-suara aneh memanggil nama Ibu di malam-malam tertentu.”

“Jangan nakut-nakuti aku ah. Aku bukan anak penakut sepertimu.” Yoshiko pun berbalik ke mobil karena tak mau berurusan dengan anak lelaki itu.

Perjalanan pun dilanjutkan. Yoshiko langsung duduk malas sambil memejamkan matanya. Tak ada sedikit pun keinginannya melihat pemandangan di luar sana. Baginya pemandangan yang menarik adalah kaca-kaca pameran di mall.

“Kita sampai,” kata Papa sambil mengehntikan mobil.

Yoshiko bernapas lega. Dia membuka matanya.

Wuah, tempat apa ini? Tanyanya dalam hati.

Yoshiko turun dari mobil. Dia melihat sebuah rumah kayu yang sudah cukup tua. Seorang lelaki tua dan anak lelakinya ke luar dari rumah itu. Mereka langsung menyambut Mama dan papa.

“Yoshiko, kenalkan ini Paman Teiji dan sepupumu, Ebisu,” kata Papa.

Yoshiko memberi hormat pada mereka.

“Mari masuk. Kami sudah mempersiapkan kamar untuk kalian,” ajak Paman Teiji.

Yoshiko mengikuti Mama dan Papa. Dia mendapat sebuah kamar sendiri. Jendela kamar menghadap langsung ke danau. Indah sekali. Ya, ternyata tempat liburannya tak seburuk yang dibayangkan. Hanya perjalanannya yang menyebalkan. Tapi, bukankah kadang kita harus bersusah dulu untuk mendapatkan yang terbaik?

Oh iya, tentang keluarga Paman Teiji, Yoshiko sudah mendengar penjelasan dari Papa sebelumnya. Paman Teiji adalah adik Papa. Ebisu tidak punya ibu lagi karena meninggal ketika dia masih bayi. Yoshiko tidak tanya kenapa ibunya Ebisu meninggal.

Kampung halaman Mama juga sama dengan Papa. Tapi menurut Mama, kampung halamannya sudah tenggelam di dasar danau itu. Ya, ternyata danau itu adalah danau buatan. Bagian dari sebuah bendungan raksasa. Mama tidak punya sanak saudara di kampong itu karena pindah ke kota. Kalau Papa masih punya Paman Teiji.

Karena hari sudah hampir malam, Yoshiko tidak bisa berjalan-jalan di sekitar rumah. Namanya juga di kampung, tidak ada penerangan yang cukup.

“Kita ngobrol-ngobrol sambil makan saja ya,” ajak Paman Teiji.

Hm, acara yang membosankan, pikir Yoshiko. “Bolehkah aku istirahat di kamar saja? Kepalaku masih pusing,” pinta Yoshiko. Sebenarnya sih sudah tidak terlalu pusing. Tapi Yoshiko lebih suka membaca komik daripada ikut ngobrol sama orang dewasa.

Tak terasa malam pun tiba. Yoshiko tidur lebih awal dari biasanya karena letih. Hanya di tengah malam dia terbangun. Dia mendengar suara di depan kamarnya.

“Siapa ya?” gumamnya. Dia melihat bayangan melintas dari sela-sela bawah pintu.

Yoshiko memberanikan diri membuka pintu kamar. Di tengoknya ke kanan.

Ebisu!

Mau apa dia malam-malam begini? Tanya Yoshiko dalam hati.

“Ebisu!” panggil Yoshiko agak pelan.

Ebisu tak menoleh. Dia terus berjalan.

Yoshiko mendekati Ebisu. Mestinya Ebisu menoleh karena tahu ada Yoshiko. Tapi Ebisu tetap berjalan lurus, lalu membuka pintu rumah. Dia berjalan keluar tanpa alas kaki.

Yoshiko menguntitnya. Dia baru sadar Ebisu sedang tidur sambil berjalan. Atau berjalan sambil tidur ya?

Ebisu terus berjalan menuju tepi danau. Yoshiko sudah ketakutan Ebisu akan terjun ke danau. Tapi Ebisu berhenti beberapa langkah sebelum jatuh ke danau.

Yoshiko mengamati sekelilingnya. Sunyi. Bulan pun hanya sepotong.

“Bagaimana ya caranya membangunkan orang yang tidur berjalan begini?” pikir Yoshiko.

“Ibu …. Ibu …!”

Yoshiko kaget. Ebisu teriak sendirian ke arah danau. Seolah ada seseorang di atas danau.

Jangan-jangan memang ada sesuatu di danau? Walaupun agak takut, Yoshiko memberanikan diri mengamati danau. Cahaya bulan yang secuil tak cukup untuk melihat danau di kegelapan malam.

“Yoshiko!”

Yoshiko terkejut. Ada suara memanggilnya di belakang. Rupanya yang datang adalah Paman Teiji.

“Biarkan Ebisu. Nanti dia akan kembali lagi,” kata Paman Teiji seperti yang sudah mengetahui kebiasaan Ebisu.

Ebisu membalikkan badannya. Masih tertidur. Dia kemudian berjalan kembali ke rumah.

“Apakah setiap malam Ebisu seperti ini?” tanya Yoshiko.

“Tidak. Hanya malam-malam tertentu saja.”

“Sejak kapan?”

“Sejak umur enam tahun. Setelah dia tahu bagaimana ibunya meninggal,” jawab Paman Teiji.

“Memangnya bagaimana ibunya Ebisu meninggal?” tanya Yoshiko ingin tahu.

“Tenggelam di danau. Saat itu kami bertiga sedang naik perahu. Ebisu masih bayi. Tahu-tahu perahunya bocor. Kami panik. Ibunya Ebisu tidak bisa berenang dengan baik. Tapi aku juga harus menyelamatkan Ebisu.”

Yoshiko ngeri membayangkannya. Dia melangkah masuk. Yoshiko tak ingin bertanya lagi, sebab mungkin akan membuat Paman Teiji sedih.

Esok harinya saat makan ada percakapan menarik.

Paman Teiji berencana menjual rumah dan tanahnya. Dia akan pindah bersama Ebisu ke kota.

Yoshiko senang mendengarnya. Mungkin dengan cari ini, Ebisu tak lagi berjalan tidur di tengah malam, lalu ke tepi danau utuk memanggil ibunya yang sudah meninggal.


^-^

No comments: