Saturday, June 20, 2009

Cernak, 21 Juni 2009


Kakek Bukan Bapak

Waktu baru menunjukkan pukul sebelas. Bang Ali merasa perutnya lapar. Tadi pagi dia hanya sempat menyeruput kopinya.

Beres mengntar penumpang ini, makan dulu ah, kata Bang Ali dalam hati.

Bang Ali berusia 33 tahun. Pekerjaannya sebagai supir taksi dilakoninya sejak tiga tahun lalu. Sebelumnya, ia sempat menjajal jadi pedagang, tapi bangkrut. Sempat pula jadi guru olahraga, tapi gajinya tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Bahkan, jauh sebelumnya bang Ali adalah seorang ….

“Maaf ya, Mas. Kayaknya saya kenal wajah mas, deh,” kata penumpang yang duduk di bangku belakang. Dia lantas membaca kartu pengenal sopir di dashboard. “Mas ini dulunya pemain sepakbola nasional, kan?”

“Ah, masa sih? Pemain bola yang mana?” elak Bang Ali.

“Itu dia pengenal supir ditulis Ali Mahfudin. Sama banget dengan pemain nasional yang saya tahu. Muka mas juga mirip. Benar, kan?” penumpang itu bersiukuh.

“Ng … iya. Tapi itu kan udah lama sekali,” aku Bang Ali akhirnya.

“Ya, saya lihat Mas Ali terakhir di Senayan. Waktu lawan Thailand. Keren banget mainnya. Tapi kemudian, saya baca di Koran Mas Ali cedera paha. Nah, abis itu saya nggak dengar lagi kabarnya,” ucap si penumpang.

Bang Ali tertawa pahit. “Ya, begitulah. Karir saya tamat sebagai pemain sepakbola begitu cedera saya susah disembuhin. Jangankan tim nasional. Tim daerah saja tidak ada yang mau pakai saya.”

“Kok begitu ya? Padahal kan bisa jadi pelatih atau apalah.”

“Ya, saya sekarang jadi pelatih juga. Tim kesebelasan supir taksi. Hahahahaha.”

“Mas Ali bisa aja. Eh, Mas Ali, saya berhenti di rumah makan depan itu ya.”

Bang Ali menepikan taksinya di depan sebuah restoran masakan Sunda. Niat Bang Ali untuk mengisi perutnya dibatalkan begitu melihat arloji di pergelangan tangannya. Dia memacu taksinya ke arah selatan. Beberapa calon penumpang yang menyetop di pinggir jalan tak digubrisnya. Tujuannya sudah jelas … menjemput Bayu.

Begitu tiba di depan gerbang sekolah Bayu, bang Ali langsung menepi. Mesin mobil pun dimatikan. Bel tanda bubar sekolah pelum berbunyi. Bang Ali membeli the botol di kios pinggir jalan. Dia pun membasahi tenggorokannya yang kering.

“Bang Ali, anak saya suka banget main bola. Biar maju, masukin klub sepakbola mana ya?” tanya Mang Sakim, pemilik kios yang sudah kenal betul dengan Bnag Ali.

“Kalo mau maju ya sekolahi di Inggris sana.”

“Ke Inggris? Duit dari mana?”

“Hahahaha. Kalo nggak sanggup ke Inggris ya masukin aja ke klub sepakbola yang dekat-dekat sini. Yang penting anaknya serius. Jangan setengah-setengah. Nanti udah bayar mahal-mahal masuk klub, eh anaknya ogah-ogahan.”

“Iya juga sih. Nah, dulu Bang Ali mulainya gimana?” tanya Mang Sakim lagi.

“Dulu sih dari klub kecil-kecilan. Terus nekad daftarin sendiri ke klub daerah.”

“Daftar sendiri? Nggak sama orangtua?”

“Bapak saya nggak suka saya jadi pemain sepakbola. Maunya, saya tuh jadi pegawai Pertamina. Ya, kayak bapak saya itu. Mulanya, saya nurut bapak saya. Tapi lama kelamaan kok mimpi jadi pemain sepakbola terkenal terus mengganggu. Akhirnya, lulus SMA saya cari kuliah di luar kota yang jauh. Biar nggak serumah dengan bapak saya. Nah, barulah saya masuk ke klub daerah,” papar Bang Ali sambil menyodorkan tiga lembar uang ribuan membayar the botol yang diminumnya.

Bersamaan dengan itu, bel tanda sekolah bubar pun berbunyi.

“Nah, kalo anak Bang Ali sekarang gimana? Dilarang juga? Saya suka lihat Bayu main bola. Kayaknya ada turunan dari bapaknya tuh,” tanya Mang Sakim.

“Saya sih terserah dia punya mimpi aja. Mau jadi pegawai bank, nggak masalah. Mau jadi pegawai Pertamina kayak kakeknya, ya nggak apa-apa. Tentu aja, sebagai bapaknya, saya sangat senang kalo dia mau nerusin mimpi bapaknya,” jawab Bang Ali sambil terkekeh.

Semenit kemudian Bang Ali mendekati gerbang sewaktu melihat Bayu. Mereka kemudian berjalan menuju taksi yang diparkir di sisi jalan.

“Gimana sekolahnya tadi?” tanya Bang Ali sambil menyalakan mesin.

“Ya gitu aja. Serunya sedikit. Hari ini ada murid baru di kelas. Anak orang kaya. Belagu banget. Tapi … kasihan juga sih,” ucap Bayu.

“Kasihan kenapa?” tanya Bang Ali.

“Dia pakai kursi roda. Udah gitu ngomongnya gagap. Nah, tuh dia mobilnya.”

“Anak orang kayak kok sekolahnya di sini? Kan, banyak sekolah swasta yang bagus-bagus?” gumam Bang Ali.

“Ih, Bapak ngeledek sekolah Bayu. Kesannya sekolah Bayu kalah sama sekolah swasta. Terus, kesannya cuma buat anak-anak orang nggak kaya.”

Bang Ali tertawa. “Bukan begitu, Bay. Bapak tuh beberapa kali nganterin anak orang kaya sekolah. Mereka tuh mana ada yang minta dianter ke SD percontohan kayak sekolah Bayu. Lah, Bapak aja kalo punya duit lebih bakal masukin Bayu ke sekolah swasta yang ngetop.”

“Nggak mau, ah. Percuma kalo anak nya belagu-belagu kayak si Heri. Enak di sekolah Bayu sekarang. Banyak teman main bolanya.” Mata Bayu mendelik ketika melihat Bang Ali membelokkan mobil ke kanan. “Lho, kok nggak langsung ke rumah?”

“Bapak lupa beli pesanan Ibu. Bapak harus beli soto dulu buat makan siang. Soto kesenangan kakekmu,” jawab Bang Ali.

“Lho, memangnya kakek mau datang hari ini ya? Bayu kok nggak dikasih tahu sama Ibu?”

“Kabarnya juga baru tadi. Mendadak. Bukan cuma datang. Kakek kan udah pensiun. Rencananya, Kakek akan tinggal bersama kita. Tadinya baru bulan depan Kakek akan datang. Tapi dipercepat.”

“Wah, gawat dong!” Bayu merasa dirinya terancam.

“Kenapa? Soal bola?”

“Iya. Kakek kan nggak suka Bayu main bola.”

“Main bolanya jangan di depan Kakek dong.”

“Benar juga.”

Mobil pun menepi ke sebuah rumah makan. Bang Ali turun membeli soto. Bayu tetap di taksi. Sepuluh menit kemudian Bang Ali kembali dengan satu kantung plastik. Bang Ali kembali menjalankan taksinya. Kali ini tujuannya adalah kediaman mereka.

Tapi perjalanan mereka tersendat. Jalanan mendadak macet karena ada pawai para pendukung kesebelasan Persija.

“Hari ini ada pertandingan ya? Memangnya Liga udah dimulai lagi?” tanya Bayu.

“Bukan Liga. Pertandingan pemanasan. Persija lawan Arema di Lebakbulus.”

“Wow pasti seru.”

“Iya. Persija kan Bapak. Nah, kalo Arema itu kan kotanya Kakek.”

Bang Ali tersenyum.

“Kapan-kapan Bayu ingin ikut pawai begitu. Boleh, kan?”

“Boleh aja. Asal sama Bapak.”

Bang Ali kembali menjalankan mobil dengan kecepatan seperti biasa karena arus jalan kembali normal. Tinggal beberapa menit lagi pasti sampai di rumah.

Rumah yang ditempati Bayu sebenarnya adalah rumah kakeknya, Pak Usman. Namun, Lima belas tahun lalu Pak Usman dipindahkan dinasnya ke Malang, Jawa Timur. Rumahnya kemudian dikontrakan. Tapi ketika Bang Ali diterima kuliah di Jakarta, rumah itu didiami kembali oleh Bang Ali. Juga ketika Bang Ali berkeluarga.

“Tadi pagi di sekolah kedatangan orang baru. Sekarang di rumah juga. Tiba-tiba dua orang sekaligus akan terus berada di dekat Bayu,” gumam Bayu saat Bang Ali memarkir mobilnya.

“Hidup itu kadang seperti pertandingan sepakbola. Ada pemain yang masuk, ada yang keluar. Kadang dia di pihak kita, kadang di pihak lawan. Datangnya bisa berdekatan waktunya, begitu juga keluarnya,” timpal Bang Ali.

Bayu tersenyum. Dia senang jika bapaknya menggunakan perumpamaan dalam pertandingan sepakbola jika memberi petuah. Lebih mudah dimengerti.

“Assalammualaikum!” salam Bayu saat memasuki rumah. Dia melihat kakeknya duduk di ruang tengah. Bayu langsung menyalaminya. “Lho, Kakek sudah sampai ya. Barang-barang Kakek mana? Katanya Kakek mau pindah lagi ke sini?”

“Barang Kakek kan banyak. Ya nggak bisa dibawa semuanya. Dikirim pakai ekspedisi pengantaran barang.”

“Tadi Kakek naik pesawat ya?”

“Iya. Kapan-kapan kamu Kakek ajak naik pesawat juga. Atau kamu malah yang mengajak Kakek. Kalau kamu nanti kerja di Pertamina, uang kamu banyak. Bisa ke mana-mana naik pesawat.”

“Kalo jadi pemain bola juga bisa naik pesawat terbang. Terutama kalo pertandingan ke luar pulau atau ke luar negeri.”

“Siapa yang membolehkan Bayu jadi pemain bola?” mata Pak Usman mendelik.

Bayu mengerut melihat bola mata kakeknya yang nyaris mau jatuh itu. Omongan sepakbola dengan Kakek selalu membuat situasi jadi tidak menyangkan. Selalu begitu yang Bayu ingat. Benar kata bapaknya. Mendingan tidak usah menyebut-nyebut sepakbola di depan kakeknya. Aaaargh…. Kakek memang berbeda dengan Bapak.

“Bay, ajak Kakek makan dulu ya,” tiba-tiba suara sejuk Ibu menyapa Bayu.


“Siap, Bu!”



^-^

No comments: