Misteri Perahu Biru
oleh Benny Rhamdani
oleh Benny Rhamdani
Tak jauh dari rumahku terdapat sebuah dermaga kecil. Cukup
tua, karena sudah berdiri sejak kakekku masih kecil. Aku sering bermain ke
dermaga, melihat orang-orang menaikkan dan menurunkan barang dari perahu. Bukan
perahu besar seperti yang kulihat di pelabuhan, tapi berukuran sedang dan
kecil.
Aku juga sering bermain dengan teman-temanku, melihat perahu-perahu yang bersandar. Lalu, kami bercakap-cakap tentang impian kami.
Aku juga sering bermain dengan teman-temanku, melihat perahu-perahu yang bersandar. Lalu, kami bercakap-cakap tentang impian kami.
“Kelak besar nanti, aku ingin menjadi nahkoda kapal laut
yang besar sekali. Aku ingin mengarungi seluruh samudera,” kata Dudi ketika
kami duduk di pinggi dermaga sambil melihat perahu.
“Memangnya kamu bisa berenang?” tanyaku.
“Nggak bisa. Tapi aku akan belajar.”
“Bagaimana mau belajar? Masuk air saja kamu takut,”
potong Rusli.
“Kamu kayak kucing. Takut sama air,” tambahku tertawa.
Dudi tersipu.
“Selamat sore. Kalian sedang ngapain?”
Kami bertiga menoleh. Kulihat seorang lelaki nberusia lima
puluhan berdiri di belakang kami.
“Sedang melihat perahu,” jawabku.
“Kalian pernah naik perahu?”
“Belum.”
“Kalian mau naik perahu? Kalau mau, ikut aku,” kata lelaki
itu.
Aku bertukar pandang dengan Dudi dan Rusli. Letiganya
tersneyum dan mengangguk. “Kami mau,” jawab kami bertiga.
“Ikuti saya,” kata lelaki tua. “Oh iya, namaku Pak Gondo.”
“Kami Ipul, Rusli dan Dudi,” kataku.
Kamu berjalan menyusuri dermaga, lalu berenti sampai di
dekat sebuah perahu bermesin berukuran sedang. Warna perahunya biru. Di sisi
kanan tertulis ‘Biru’. Konyol juga nama perahunya.
Pak Gondo membantu kami masuk ke perahunya. Kupikir tadinya
Pak Gondo hanya mengajak kami naik perhau saja, tanpa menjalankannya. Makanya
aku kaget ketika mesin perahu dinyalakan.
“Kita keliling sebentar ya,” kata Pak Gondo.
Kami bertambah girang ketika perahu menjauhi dermaga. Aku
senang sekali melihat buih di laut karena laju perahu. Ombak kecil sesekali
membuat kami terombang. Untung saja Dudi tak mabuk laut.
“Kita mampir ke pulau kecil itu ya,” ajak Pak Gondo.
Aku sih tererah saja.
Perahu pun merapat ke dermaga kecil. Pak gondo mengajak kami
turun. Kami berebut turun menginjak pulau kecil yang tidak kutahu namanya.
“Ini namanya pulau Perompak. Dulu pulau ini dipakai untuk
istirahat para perompak. Tapi sekarang sudah tidak ada perompak. Salah satu
perompak terkenal dan paling terakhir mati ditembak polisi di sini,” kata Pak
Gondo.
Hatiku menciut.
“Kalian jangan takut. Itu terjadi puluhan tahun lalu.
Mungkin kalian belum lahir.”
Setelah puas menyusuri pantai, kami kembali ke perahu. Pak Gono
pun menjalankan mesin kembali. Tapi baru beberapa menit perahu mengarungi laut,
tiba-tiba mesin berhenti. Pak Gono tampak panik. Membuat aku juga ikutan panik.
Pak Gono memeriksa mesin sebentar .”Solarnya kehabisan,” katanya
kemudian.
Kami cemas. Malam sudah hampir tiba. “Coba aku periksa ke
bawah dulu. Kalian tunggu di sini. Kalau ada kapal yang terlihat, tekan tekan
tombol lampu ini tiga kali,” kata Pak Gondo.
Kami bertiga menangguk. Lalu, menunggu selama beberapa menit. Sampai setengah jam, Pak Gondo belum kembali.
Kami bertiga menangguk. Lalu, menunggu selama beberapa menit. Sampai setengah jam, Pak Gondo belum kembali.
“Kalian lihat deh ke bawah. Khawatir kalau Pak gondo
kenapa-napa,” kataku.
Dudi dan Rusli turn ke ruang mesin. Lima menit kemudian,
mereka kembali dan berkata. “Tidak ada siapa-siapa,” lapor mereka.
“Hei lihat itu ada perahu motor!” seruku. Aku langsung
menyalakan tombol lampu tiga hari. Dudi dan Rusli melambaikan tangannya di
depan perahu.
Untunglah perahu motor itu melihat kami. Mereka menghampirui
kami.
“Apa yang terjadi?” teriak mereka begtu mendekat.
“Mesin kami mati. Pak Gondo juga hilang,” jawabku berteriak.
Akhirnya para penghuni perahu motor itu melompat ke perahu
kami. Mereka mencari Pak Gondo, tapi tak ada. Mereka membenarkan mesin
dan mengisi solar. Perahu kami pun jalan kembali, kali ini dikendalikan salah
satu pria dari perahu itu.
Saat magrib kami tiba di dermaga. Kami mengucapkan terima
kasih dan buru-buru kembali ke rumah. Kami masih bingung dengan perginya Pak
Gondo. Dua hari kemudian, sat kami kembali ke dermaga, barulah kami tahu. Pak
Gondo memang pemilik perahu biru itu. Tapi dia sudah meninggal seminggu yang
lalu karena sakit.
Lalu siapa yang bersama kami?
^_^
No comments:
Post a Comment