Friday, January 04, 2013

CERNAK, 6 Januari 2012


Dua Calon Prajurit



Velip berbadan kurus. Tapi, sejak kecil ia bercita-cita menjadi prajurit istana. Maka, ketika istana mengumumkan pendaftaran prajurit baru, Velip langsung bergegas ikut mendaftar.
Aula tempat pendaftaran sangat padat oleh para pendaftar. Mereka antre dengan tertib. Sebelum Velip mendapat giliran, seorang berperut gendut maju ke meja petugas pendaftaran.
“Siapa namamu?” tanya petugas.
“Motu,” jawab si Gendut.
“Sebaiknya, kamu pulang saja. Kami tidak butuh prajurit gendut sepertimu. Tak ada kuda yang kuat kamu tunggangi,” celetuk petugas yang lain.
Seisi ruangan tertawa.
Motu tertenduk lesu.
“Sebaiknya, kamu melamar beberapa bulan lagi sebagai juru masak,” kata si Petugas.
Motu berjalan meninggalkan aula. Kini, giliran Velip yang dipanggil ke depan petugas pendaftaran. Lagi-lagi mata petugas pendaftaran memandang dengan muka sinis.
“Siapa namamu?” tanya petugas pendaftaran.
“Velip.”
“Pulang saja sekarang. Kamu terlalu kurus untuk jadi prajurit. Bahkan, lebih kurus dari tombak kami,” celetuk petugas lainnya.
Seisi ruangan lagi-lagi tertawa.
Velip pulang dengan hati terluka. Ia berjalan lesu meninggalkan aula istana.
Di tengah perjalanan, Velip bertemu dengan Motu yang tengah terduduk di atas sebongkah batu. Wajahnya sangat lesu.
“Hai Motu, aku Velip. Aku juga gagal di pendaftaran tadi,” kata Velip sambil mendekat.
“Aku sedih karena gagal. Aku tidak berani pulang ke rumah. Orangtuaku sangat berharap aku bisa jadi seorang prajurit. Salahku juga tak mau olahraga, jadi badanku gemuk begini,” ucap Motu.
“Aku juga. Sejak beberapa hari kemarin, aku sudah sesumbar di desaku akan jadi seorang prajurit. Mereka malah menertawakanku. Makanya, aku juga tidak berani pulang,” sahut Velip.
“Kalau begitu, kita bersama-sama bertualang dulu saja. Kamu mau bersahabat denganku?” tanya Motu.
“Ya, tentu.”
Mereka pun memutuskan untuk bertualang. Suatu hari, di tengah perjalanan mereka dikejutkan seorang wanita setengah baya yang berteriak panik.
“Tolong … tolong! Cucuku …!”
“Ada apa, Nek?” tanya Motu dan Velip bersamaan.
“Cucuku masuk ke ceruk goa yang dalam. Aduh …. Tolong dia!” jawab perempuan setengah baya itu.
Motu dan Velip segera bertindak. Mereka mencari tempat ceruk goa tersebut. Ternyata, lobang goa tersebut sangat sempit. Lorongnya curam, hampir seperti lobang sumur.
“Tapi, badanku bisa masuk,” kata  Velip.
Motu segera mencari akar pepohonan dan dijalinnya menjadi tali. Ujung tali kemudian dililitkan ke tubuh Velip. Pelan-pelan, Velip masuk melalui celah gua. Ketika mencapai dasar, Velip menemukan tubuh seorang anak kecil yang tergolek pingsan.
Dengan cekatan, Velip mengikat tubuh anak itu. “Motu, tarik!” teriak Velip kemudian.
Sekuat tenaga, Motu menarik tubuh anak itu. Akhirnya, tubuh anak itu bisa melalui celah gua. Kemudian, Velip menyusul keluar dari dalam gua.
“Oh, cucuku. Akhirnya, kamu selamat,” kata perempuan itu sambil menggendong tubuh si anak kecil.
Dia lantas mendekati Motu dan Velip. “Mari ke tempat tinggalku dulu. Mungkin aku masih perlu bantuanmu,” kata perempuan tua itu.
Velip dan Motu mengangguk setuju. Motu segera menggendong tubuh anak kecil itu sampai ke sebuah pondokan kayu yang sederhana.
“Siapa nama kalian? Orang-orang memanggilku Mak Acin,” kata perempuan tua itu.
“Aku Motu.”
“Dan aku Velip.”
Sambil membuat ramuan obat-obatan untuk cucunya, Mak Acin lantas bercerita awal kejadian hingga cucunya yang bernama Lolum terperosok. Menurutnya, saat itu ia bersama Lolum tengah mencari akar-akaran. Sebagai tabib, Mak Acin memang harus menyiapkan aneka bahan untuk obat-obatan. Rupanya, Lolum tak sadar saat asyik mencari akar lumut sampai terperosok ke dalam ceruk itu.
Mak Acin lantas membasuh ramuan obat yang dibuatnya ke kening dan leher Lolum. Tak lama kemudian, Lolum sadar.
“Kalian sebenarnya mau ke mana?” tanya Mak Acin yang merasa asing dengan Velip dan Motu.
Secara bergantian, Velip dan Motu menceritakan pengalaman mereka yang ditolak menjadi prajurit. Di ujung cerita, Mak Acin tersenyum.
“Tahun depan, istana pasti akan membuka pendaftaran baru. Sebaiknya, selama setahun ini kalian tinggal bersamaku. Karena kalian sudah menolongku, aku akan membantu kalian menjadi calon prajurit yang hebat,” janji Mak Acin.
Velip dan Motu tanpa ragu-ragu langsung mengangguk.
Ya, sejak itu mereka tinggal bersama Mak Acin dan Lolum. Mak Acin melatih mereka menjadi calon prajurit yang berbadan tegap dan sehat. Caranya tidak sulit. Mereka disiplin makan dan berolahraga. Olahraga mereka adalah mengangkat air dari sungai, membelah kayu bakar, atau membangun kembali pondokan Mak Acin.
Setahun kemudian, istana kembali membuka pendaftaran prajurit. Mak Acin segera meminta Velip dan Motu meninggalkan pondoknya.
“Tubuh kalian sudah tidak seperti dulu lagi. Kalian sama-sama berbadan tegap sekarang. Aku doakan kalian diterima menjadi prajurit istana,” kata Mak Acin saat melepas Velip dan Motu.
“Kami mengucapkan terima kasih pada Mak Acin,” kata Velip dan Motu.
“Jangan lupa padaku. Karena aku juga ikut membantu kalian,” sela Lolum sambil mengusap air matanya.
“Tentu saja,” jawab Velip dan Motu serempak.
Mereka pergi ke aula istana. Rupanya, petugas pendaftaran sama sekali tak mengenali mereka lagi.
“Velip? Rasanya, aku pernah mendengar nama itu. Tapi, kurasa bukan kamu. Tubuhmu tegap, sangat cocok jadi prajurit. Kamu kami terima,” kata petugas pendaftaran.
Hal yang sama juga dikatakan petugas pendaftaran ketika Motu mendapat giliran. Petugas itu sama sekali tak ingat pernah mencela Motu dan Velip setahun lalu.
Beberapa tahun kemudian, Velip dan Motu menjadi prajurit istana yang tangguh. Bahkan, pangkat mereka naik dengan cepat menjadi komandan pasukan. Orangtua mereka tentu saja bangga.
“Orang yang paling berjasa bagi kami adalah Mak Acin dan Lolum,” begitu selalu Velip dan Motu mengatakan pada setiap orang.

******

No comments: