Friday, July 28, 2017

Cernak, 30 Juli 2017

Kisah Jenaka Pak Pandir



Dahulu di sebelah timur kota Baghdad, ada seorang lelaki tua yang bodoh, karena kebodohannya ia disebut Pak Pandir. Begitu bodohnya ia, sehingga selalu percaya pada perkataan semua orang, bahkan anak-anak kecil pun ia percayai omongannya.

Pada suatu hari, ia ingin menjual kambingnya ke kota Baghdad. Pada masa itu orang-orang miskin harus berjalan berhari-hari untuk mencapai kota Baghdad.

Karena bodoh atau pandir ia jadi repot sekali jika hendak bepergian. Repot menyiapkan bekal perjalanan, ia harus menghitung baju, makanan dan minuman yang harus dibawa. 

Ia memerlukan waktu seminggu untuk menyiapkan bekalnya, sesudah itu bekalnya dimasukkan ke dalam karung. Dan karung itu dinaikkan ke punggung keledai.

Kambingnya diikatkan ke ekor keledai dan di leher si kambing digantungkan sebuah lonceng.

"Sambil berjalan aku bisa mendengar bunyi lonceng itu," pikir Pak Pandir.

Jika lonceng masih tetap berbunyi, itu tandanya tak ada yang mencuri kambingku. Nah, bukankah akalku cukup cerdik, hanya orang lain saja yang menganggapku bodoh."

Pada waktu itu penduduk negeri belum sebanyak sekarang. Daerah-daerah yang menghubungkan satu desa dengan desa lainnya masih sepi, liar dan penuh bahaya.

Pak Pandir pun berangkat. Di tempat yang sunyi tiga orang perampok sudah menghadang. Mereka menunggunya lewat.

"Aku akan merampas kambingnya," kata perampok pertama.

"Kalau begitu, aku keledainya," kata perampok kedua.

Perampok yang ketiga mendengus kecewa."Tinggal baju kumalnya itu yang masih bisa kurampas," katanya.

Perampok pertama menunggu sampai Pak Pandir mendaki lereng yang cukup curam. Kemudian dia mengendap-ngendap dari balik semak. Diguntingnya tali pengikat kambing dengan ekor keledai dan dipindahkannya lonceng itu ke ekor keledai. Lalu dia bersembunyi lagi.

Pak Pandir terus melangkah dengan riang. Pikirnya, selama lonceng masing berkelining, berarti kambingnya masih ada.

Beberapa saat kemudian, dia menoleh dan terkejut sekali waktu melihat kambingnya tak ada lagi. Barulah Pak Pandir tahu, lonceng itu ternyata diikatkan ke ekor keledai. Dia sadar..... dia telah tertipu.

Dia menangis keras-keras! Pada saat itu datang seseorang lalu mendekatinya.

Dialah perampok yang kedua. "Ada apa Pak Tua?" tanyanya. "Mengapa anda menangis dan berteriak-teriak begitu?"

"Kambingku! Mula-mula ada. Sekarang tidak ada. Pasti ada yang mengambilnya," keluh Pak Pandir.

"Astaga!" kata si perampok. "Untung kau bertemu denganku, Pak. Beberapa saat lalu aku bertemu dengan seorang laki-laki menarik-narik seekor kambing. Nampaknya kambing itu enggan mengikutinya. Di balik rumpun pohon itu. Jika anda lari, pasti anda akan dapat menangkapnya."

"Terima kasih," kata Pak Pandir. Wajahnya berseri kembali. "Aku akan mengejarnya, tolonglah jaga keledaiku ini sementara aku pergi."

"Baiklah," kata si perampok kedua. Dipeganginya tali keledai. Pak Pandir segera lari ke arah rumpun pohon.

Tentu saja tak ada siapa-siapa. Kemudian, ketika ia dengan nafas tersengal-sengal sampai ke tempat kawan barunya ditinggal, orang itu telah menghilang bersama keledainya.

Pak Pandir menangis menjerit-jerit menjambaki rambutnya. Tapi tak ada gunanya. Kambingnya telah hilang. Keledainya dan bekal makanan serta pakaiannya juga telah lenyap. Tak ada yang dapat dikerjakannya selain balik ke desanya lagi.

Ia harus kembali menempuh jalan jelek yang berdebu itu.  Matahari bersinar terik. Pak Pandir lega ketika sampai ke dekat sebuah perigi. Dekat perigi itu duduk seorang laki-laki yang sedang menangis meraung-raung sambil menarik-narik rambutnya. Persis dia sendiri tadi.

"Celaka. Sial,"tangis orang itu. Pak Pandir datang dan mendekatinya dan bertanya. "Mengapa?"

"Aku terjerat kesulitan yang paling rumit di dunia," tangis yang ditanya.

Pak Pandir hampir-hampir tak percaya pada pendengarannya. Dia tak bisa membayangkan, masih ada yang lebih celaka lagi dibandingkan dengan dirinya. Tapi dengan sabar dia mendengarkan juga.

"Aku membungkuk ke dalam perigi, maksudku mau mengambil air," kata orang itu. "Tahu-tahu kantung permata yang kubawa jatuh kedalam perigi, padahal permata-permata itu milik Khalifah. Jika aku pergi menghadap dan menceritakan yang sebenarnya, Khalifah takkan percaya dan akan memasukkan aku ke dalam penjara."

Pak Pandir mengangguk-angguk.

"Ya, memang rumit," katanya. "Mengapa tidak kauambil saja kantung itu? Kau pasti dengan mudah bisa menemukannya."

"Oh, aku tak bisa berenang. Aku takut tenggelam dalam perigi," kata si perampok ketiga.

"Kecuali permata, kantung itu juga berisi sepuluh keping uang emas. Uang itu akan kuhadiahkan kepada siapa pun yang bisa mengambilkan kantung itu."

Pak Pandir merasa tertarik. Sepuluh keping uang emas cukup untuk membeli seekor kambing, seekor keledai, makanan, pakaian, dan masih akan tersisa banyak.

"Nah, aku akan masuk ke perigi dan mencari kantungmu." katanya.

Tapi aku tak ingin bajuku jadi basah. Maukah kau menjaganya, sementara aku masuk ke perigi?"

"Tentu," jawab si perampok ketiga. Pak Pandir pun masuk ke dalam perigi.

Air perigi itu sedingin es. Apalagi Pak Pandir baru saja berada di tempat yang sangat panas. Tentu saja, bagaimanapun telitinya dia mengaduk-ngaduk lumpur dalam perigi, kantung permata itu tak dapat ditemukan. Lekas-lekas dia naik kembali, tak ingin kawan barunya menunggu terlalu lama.

Tak bisa ditemukan, sebab memang tak ada kantung permata yang terjatuh ke dalam sumur. Di atas tak ada seorang pun yang menunggunya. Pakaiannya pun telah lenyap.

Beberapa saat kemudian, barulah ia sadar bahwa ia telah tertipu. Dengan sangat mendongkol ia berlari pulang.

Sepanjang jalan dia berteriak-teriak menceritakan kisah malangnya kepada siapa pun yang mau mendengar.

Para tetangga menganggap pengalamannya itu lucu sekali. Setiap malam, bergantian mereka mengundang Pak Pandir untuk makan malam sambil mengisahkan pengalamannya. Para tetangganya itu tertawa terpingkal-pingkal saat Pak Pandir bercerita. 

No comments: