Jalak Ayah Hilang
“Mita, ada pencuri!”
Pagi-pagi saat aku sarapan, tiba-tiba Kak Katrin berteriak. Hampir saja aku tersedak.
“Di mana?” tanyaku.
“Pencurinya sudah kabur. Tapi dia sudah mengambil sangkar burung ayah,” kata Kak Katrin.
“Wah, gawat! Sama burung jalak kesayangan ayah?”
“Ya iya. Buat apa mencuri kandangnya saja.”
Aku garuk kepala. “Pasti kalau Ayah tahu akan ngamuk-ngamuk,” timpalku sambil menghabiskan suapan terakhir nasi gorengku. Aku tidak mau membayangkan kalau jalak kesayangan ayah hilang. Jangankan hilang. Terlambat dikasih makan saj biasanya ayah langsung marah.
“Kakak sih semalam lupa memasukkan sangkar burungnya,” kataku lagi.
“Lupa. Kakak lagi banak tugas. Kamu yang mestinya.”
“Biasanya yang dapat tugad masukin sangkar burung kan kakak.”
“Habis bagaimana dong?”
“Yang pasti, sebelum ayah dan ibu pulang dari Bandung nanti siang, kita harus menemukan burung itu,” kataku. Ayah dan Ibu berangkat sejak Sabtu sore kemarin karena kakek sakit.
“Menemukan dari Hongkong! Gimana cara nyarinya?” tanya Kak Katrin.
“Ya, kita cari ke pasar burung. Barangkali aja pencurinya menjual ke sana,” kataku.
“Bagus juga idemu!”
Sepuluh menit kemudian kami pergi ke pasar burung. Ternyata bingung juga mencari burung jalak milik ayah di antara sekian banyak burung. Lagi pula, aku tidak mengenal benar ciri-ciri khasnya. Bagiku semua burung jalak kelihatan sama.
“Yang mana ya, Kak?” tanyaku.
“Kita cari sangkarnya dulu. Aku ingat kok tanda-tanda sangkarnya.”
Kami memerhatikan sangkar-sangkar yang bergelantungan. Tapi Kak Katrin tak menemukan sangkar yang dikenalnya. Rasanya sudag berjam-jam kami di pasar burung. Payahnya, tanpa hasil sedikit pun.
“Kita tanya saja kalo begitu,” saranku.
“Tanya ke siapa? Kita tidak tahu ke mana pencuri itu menjualnya,” kata Kak Katrin.
“Pak Slamet. AKu biasa beli makanan burung di sana kalo disuruh ayah.”
“Huh, kenapa nggak bilang dari tadi.”
Aku cengengesan. Kami mendatangi Pak Slamet. Tapi Pak Slamet tidak member keterangan penting.
“Semua pedagang di sini bisa membeli burung dari siapa saja tanpa menanyakan burungnya boleh mencuri atau bukan,” begitu katanya.
Akhirnya, kami frustasi.
“Aku puny a ide. Bagimana kalau kita patungan saja. Uangnya untuk membeli sangkar burung yang mirip dan buung jalak yang mirip pula,” kata Kak katrin.
“Nggak ah. Aku nggak punya duit. Kagi pula pasti ayag tahu kalau itu bukan burung jalak ayah.”
“Iya juga sih.”
Kami menghela napas bareng. Kami pun pulang ke rumah tanpa hasil apapun.
Ternyata baru saja kami masuk rumah, mobil yang dimeudiakn ayah parker. Biasnaya aku gembira menyambut ayah dan ibu dari Bandung. Tapi kali ini malah tegang.
Kak Katrin yang lebih menghadap ayah. Muakanya sangat memelas seperti tidak makan tujuh hari.
“Ayah… semalam ada pencuri. Dia mengambil sangkar burung ayah. Maafkan kami ayah. Kami tidak menjaga burung ayah….”
“Apa? Semalam ada pencuri? Kalian tidak apa-apa, kan?” tanya ayah dan ibu cemas.
“Iya,” kataku.”Tidak apa-apa. Pencurinya tidak masuk rumah.”
“Untunglah kalau begitu,” kata ibu lega.
Ayah merangkul kami. “kalian nggak usah cemas karena sangkar dan burung jalak ayah dicuri. Biarlah. Yangpenting kalian selamat,” kata ayah. “Lagi pula ayah sudah bosan memelihara burung. Jadi biar saja burung jalak itu hilang."
Aku melihat wajah kak Katrin jadi gembira. Begitu pula aku.
Wah, ternyata hati ayah lebih baik dari yang kami kira. Untung saja tadi tidak jadi mengelabui ayah.
^_^
No comments:
Post a Comment