Friday, November 30, 2012

CERNAK, 02 Desember 2012

Karena Suka Membaca
Lagi-lagi, Inot terlambat bangun. Akibatnya, ia harus terburu-buru pergi mandi dan berganti pakaian.
“Percuma tergesa-gesa begitu, Not. Kereta penjemput pekerja istana baru saja berangkat,” ujar Bu Bayang di pintu kamar.
“Tidak apa-apa, Bu. Aku jalan kaki saja,” timpal Inot.
“Ya, tapi kamu bisa terlambat sampai di istana. Pantas saja Pak Dorman hanya memberimu pekerjaan sebagai penyapu istana,” ujar Bu Bayang kesal. “Aku kan sudah bilang, jangan suka membaca hingga larut malam. Tukang sapu istana tidak usah banyak membaca. Kamu bukan pustakawan atau tabib.”
Inot tidak menimpali. Ia segera meninggalkan tempat tinggal para pekerja istana. Jauh di atas bukit, ia melihat titik hitam. Rupanya, kereta penjemput sudah menjauh.
Inot memutuskan berjalan memintas hutan. Jalan itu hanya diketahui Inot, lantaran ia selalu melalui jalan itu bila terlambat pergi ke istana. Pertama kali melewati jalan itu, Inot merasa ngeri melihat banyak pohon besar,tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Ia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Kreeek …! Telinga Inot menangkap suara itu. Ia segera menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Ada seorang anak perempuan berdiri dengan wajah cemas.
“Siapa kamu? Mengapa berada di sini? Hei, kamu kelihatan gelisah sekali!” sapa Inot seraya mendekati anak perempuan itu.
“Namaku … Gege. Aku tinggal di hutan ini bersama nenekku. Dia sedang sakit parah,” jelas Gege.
“Kalau begitu, biar kupanggil tabib untuk nenekmu,” Inot menawarkan bantuan.
“Tidak perlu. Yang kubutuhkan bukan itu, tapi orang yang bisa membaca,” kilah Gege.
“Wah, kebetulan aku bisa membaca, kok!”
“Sungguh? Oh, beruntung sekali! Ayo ikut denganku.” Gege melangkahkan kakinya diikuti Inot.
Mereka jalan menembus hutan. Gege menceritakan tentang dirinya.
“Sebenarnya nenekku itu adalah seorang tabib istana. Karena telah lanjut usia, ia berhenti kerja. Nenek ingin mewariskan ilmunya padaku, tapi aku tak dapat membaca. Aku sangat malas belajar membaca. Apalagi kita-kitab nenek sangat tebal. Tapi kini, begitu nenek jatuh sakit, aku tidak bisa menolongnya,” tutur Gege sambil berjalan.
“Kenapa nenekmu tidak mengobati sendiri?” tanya Inot heran.
“Mata nenek sudah rabun dan sudah pikun. Umurnya saja sudah seratus lebih. Nah, itu rumah kami!” tunjuk Gege.
Mereka sampai di sebuah rumah mungil berdinding kayu. Gege langsung membuka pintu rumah. Terlihat oleh Inot seorang nenek tengah berbaring di atas dipan.
“Ini kitab yang harus kamu baca. Lalu, di lemari itu ada kendi berisi ramuan yang harus kamu pilih sesuai petunjuk kitab,” ujar Gege seraya menyerahkan kitab tebal pada Inot.
Setelah menanyakan dulu kondisi nenek Gege, Inot segera membaca kitab itu. Dicarinya jenis ramuan yang cocok dengan penyakit nenek Gege. Inot lantas membuat ramuan dan meminta nenek Gege meminumnya.
Mata Gege bersinar ketika melihat keadaan neneknya kemudian membaik.
“Aku sudah lebih sehat sekarang. Siapa namamu?” tanya nenek Gege.
“Namaku Inot, tukang sapu halaman istana,” jawab Inot.
“Tidak kusangka, seorang pekerja sepertimu dapat membaca. Kamu berbakat untuk menjadi seorang tabib. Apa kamu bersedia?” tanya nenek Gege lagi.
“Ten … tu sa … ja,” jawab Inot girang.
“Kalau begitu, datanglah ke sini setelah selesai bekerja untuk mempelajari kitab-kitabku. Juga sekalian tolong ajari Gege membaca.”
“Oh, tetapi pekerjaanku teramat banyak. Terkadang sore hari baru selesai. Lagi pula, aku tidak punya kuda untuk mencapai tempat ini dengan segera.”
“Jangan khawatir!” sahut Gege sambil mengambil sebatang sapu. “Ambillah ini untukmu. Sapu ini bisa terbang melebihi kecepatan seekor kuda. Hanya, aku tidak tahu mantranya. Bacalah sendiri di buku cokelat itu.”
Inot mengambil buku yang ditunjuk. Di buku itu, tertulis aneka mantra untuk menjalankan sapu itu. Mulai dari mengawali, belok kiri, belok kanan, berputar, atau berhenti. Bahkan, sapu itu bisa diperintahkan dengan mantra khusus untuk melakukan apa saja.
“Oh, maaf aku harus segara berangkat kerja. Pasti aku terlambat,” tiba-tiba Inot teringat pekerjaannya.
“Bawa saja sapu dan buku petunjuknya. Kamu bisa sampai ke istana dengan cepat,” saran nenek Gege.
Inot menuruti permintaan nenek Gege. Karena Inot anak yang cerdas, ia langsung hafal beberapa mantra setelah membaca. Sapu itu lantas membawa Inot ke istana lewat angksa. Wusss .…
Untung, Pak Dorman yang menjadi pengawas pekerja istana tidak melihat kedatangan Inot. Seperti biasa Inot bekerja menyapu halaman istana.
Setahun berlalu, Inot sudah menguasai banyak ilmu pengobatan dari kitab-kitab yang dibacanya. Sesekali, nenek Gege ikut mengajar, terutama memperkenalkan jenis obat-obatan dari tetumbuhan. Sementara itu, Gege mulai lancar membaca.
Suatu hari, Raja Pundre terserang penyakit yang membuatnya tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Beberapa orang tabib berusaha mengobatinya, namun gagal. 
 Inot ikut mencoba mengajukan diri untuk mengobati Raja Pundre. Tapi, para pengawal menghalanginya. Inot lantas menyerahkan sebuah lencana pada Patih Gufa. Mengetahui lencana itu hanya diberikan pada orang-orang yang dipercaya Raja Pundre, Inot diperbolehkan mengobati Raja Pundre.
 Setelah minum obat hasil ramuan Inot, perlahan kesehatan Raja Pundre membaik. Inot langsung diangkat menjadi tabib istana. Banyak orang yang terkejut melihat seorang tukang sapu istana menjadi tabib istana, terutama Bu Bayang!
“Bagaimana caranya kamu bisa mengobati Raja Pundre, Not?” tanya Bu Bayang heran.
“Jawabannya mudah. Aku bisa mengobati Raja Pundre karena aku suka membaca,” jawab Inot singkat.
Ya, jawaban itu selalu dikatakannya bila ada yang bertanya tentang kemampuannya. Inot berharap banyak orang yang akan gemar membaca seperti dirinya.
******

No comments: