Friday, November 23, 2012

CERNAK, 25 November 2012


Gara - Gara Nama
 
 
Ina sedang menyiram bunga di pekarangan samping rumah. Matanya terus mengamati bunga-bunga yang bermekaran. Ia terkejut ketika namanya dipanggil-panggil dari seberang pagar yang membatasi pekarangan rumah sebelah.
"Ina ... Ina ke sini!" suara itu terdengar lagi. Jelas itu suara anak lelaki. Tetapi, Ina tidak mengenali suara itu. Ia tahu ada tetangga yang baru pindah ke rumah itu dua hari lalu.
Ina naik ke atas batu yang menempel di bawah pagar. Kepalanya menyembul melihat ke pekarangan tetangganya. Seorang anak laki-laki sebayanya tengah asyik bercanda dengan seekor anak anjing.
"Ayo Ina, lompat!" anak laki-laki itu menyeru lagi.
Muka Ina langsung pucat. Ia baru sadar kalau nama yang disebut-sebut anak itu bukan ditujukan kepadanya, melainkan kepada anak anjing berbulu putih hitam itu.
"Hey!" panggil Ina agak keras. Anak lelaki itu langsung menatap ke arah Ina. Ia sudah mengetahui keberadaan Ina sejak tadi. "Aku sarankan padamu, sebaiknya nama anjing itu kamu ganti."
Anak lelaki itu mengerutkan dahinya. "Mengapa harus kuganti? Nama itu kan, kedengarannya lucu," sahutnya.
"Tetapi kan, kamu tidak tahu kalau nama itu sama dengan namaku. Bagaimana kalau sampai teman-temanku mengetahuinya?"
"Itu urusanmu."
Muka Ina berlipat kesal. Rupanya anak ini harus dibujuk, pikirnya. "Hey, memangnya kenapa sih, kamu keberatan mengganti nama anjing itu? Kan, lebih bagus kalau kamu ganti dengan Snowi, Tintin, atau Skipi," suara Ina agak merayu.
"Tidak bisa. Anjing ini kenang-kenangan dari sahabatku sebelum pindah ke sini. Ia yang memberi nama itu. Kalau ia sampai tahu, aku mengganti nama yang ia berikan, nanti aku dianggap tidak bisa menghargai kenang-kenangan darinya," jelas anak laki-laki itu.
Mulut Ina terkatup rapat. Kasusnya jadi semakin buntu.
"Bobi ... Bobi! Sudah sore kamu belum mandi juga. Nanti Mama pulang baru tahu rasa!" suara teriakan terdengar bersamaan dengan keluarnya anak perempuan yang umurnya dua tahun di atas Ina.
Anak lelaki bernama Bobi itu bergegas meninggalkan pekarangan sambil berteriak, "Ina, ayo kita mandi dulu!"
Ina cuma bisa mendengus kesal. Kekesalannya terus berlanjut ketika ia di sekolah esok paginya. Tentu hal ini mengundang tanya teman-temannya. Selama ini, Ina dikenal paling ceria.
"Kamu tidak dikasih uang jajan sama mamamu, ya?" tanya Idong di waktu istirahat. Tetapi, Ina cuma menggeleng.
"Terus kenapa?" tanya Wini.
"Aku mau cerita, tetapi kalian harus janji tidak menertawakannya," Ina memberikan syarat.
Idong, Wini, dan Herman mengangguk. Setelah menarik napas sebentar, Ina menceritakan semua yang dialaminya kemarin sore. Dan secara bersamaan, semua terbahak-bahak setelah Ina menghabiskan ceritanya.
"Kalian kok malah ketawa, bukannya membantu aku menyelesaikan masalah ini," protes Ina.
Serentak Idong dan Wini terdiam, lalu mata mereka menatap ke arah Herman. Ia memang dikenal banyak akal. Dari masalah pertengkaran sampai pencurian di kelas pernah diselesaikannya.
"Aku ada akal untuk menyelesaikan kasus ini. Ina, kamu tahu nama tetangga barumu itu?"
"Bobi. Aku mendengar kakaknya menyebut namanya demikian kemarin."
"Bagus. Lantas, di antara kalian ada yang punya hewan peliharaan di rumah?"
"Aku punya kucing," jawab Idong.
"Aku punya kelinci," timpal Wini.
"Ah, itu kurang seru. Begini saja. Pamanku punya seekor monyet. Kamu tidak takut dengan monyet kan, Ina?"
"Monyet? Untuk apa?"
"Kalau tidak takut, kita lihat saja hasilnya nanti sore."
Sekitar pukul empat sore, Bobi tengah duduk di pekarangan rumahnya sambil memperhatikan anjing kecil di dekatnya. Ia merasa bosan tinggal di rumah. Kalau saja ia pindah ke sekolah seperti anak-anak di kompleks ini, tentu ia mudah mendapatkan teman.
"Bobi! Ayo, makan pisangnya!"
Suara itu terdengar jelas di telinga Bobi. Datangnya dari seberang pagar rumah. Ia beranjak melihat ke seberang pagar, penasaran. Dilihatnya, Ina tengah memberi sebuah pisang ke arah monyet kecil. Mata Bobi langsung membesar seketika.
"Hey, rupanya kamu dendam sama aku. Kamu pasti sengaja memberi nama monyet itu seperti namaku."
Ina memandang ke arah Bobi. "Bagaimana aku tahu kalau nama monyet ini sama dengan namamu? Sebagai orang baru di sini, kamu kan, tidak pernah memperkenalkan diri."
Bobi merasa diserang.
"Lagian, kalau monyet ini tidak dipanggil Bobi, tidak pernah mau makan. Kasihan kan, kalau dia sampai kurus kering karena namanya kuganti."
Bobi menyerah kalah. "Baiklah, tolong ganti nama monyet itu. Kalau kamu mengusahakannya sedikit-dikit, pasti monyet itu mau mengerti. Dan aku janji mengganti nama anjingku."
"Lho, nanti sahabat lamamu itu marah."
"Ah, sebenarnya aku kemarin mengada-ada saja. Anjing itu pemberian pamanku. Nama sebenarnya Skuli. Aku cuma iseng saja mencari cara agar bisa berkenalan dengan kamu. Kebetulan, aku sering mendengar namamu disebut-sebut. Tetapi untuk berkenalan langsung denganmu, aku tidak berani."
Ina manggut-manggut. Ia dapat memahami apa yang diucapkan Bobi. "Kalau begitu, melompatlah kemari. Kebetulan, teman-temanku juga ada di sini. Nah, itu Idong, Wini, dan Herman," ucap Ina ketika teman-temannya muncul dari persembunyian di balik tembok.
Bobi terkejut, tidak menduga ada orang lain di antara mereka berdua. Dalam beberapa menit saja, Bobi sudah bermain akrab dengan mereka. Pertengkarannya dengan Ina tidak pernah diingatnya lagi.

No comments: