Friday, September 27, 2013

Cernak, 29 September 2013






Pohon Tua di Pinggir Jalan

Clara hampir setiap hari melewati pohon kenari tua itu. Letaknya persis di pinggir jalan sebelum belok ke komplek perumahan Clara tinggal. Penampilannya mencolok, karena dialah satu-satunya pohon kenari yang tersisa. Yang lainnya sudah ditebang beberapa waktu untuk pembangunan trotoar.

Clara tidak tahu berapa usia pohon kenari itu. Kata Ayah, sebelum Clara lahir, pohon itu sudah tumbuh. Dan hari ini, sepulang sekolah Clara melihat seorang petugas menandai pohon itu. Clara kenal dengan pria bernama Pak Kamto itu.

“Pak, mengapa pohon itu diberi tanda dengan cat? Kasihan pohonnya. Lihat saja, batangnya sudah dipenuhi paku untuk memasang papan pengumuman, sekarang dicat pula,” tanya Clara spontan.

“Clara, pohon ini sudah tua. Sudah waktunya ditebang. Cat ini menandakan pohon ini akan ditebang besok. Jadi orang yang setiap hari lewat sini, harus berhati-hati besok,” jawab Pak kamto.

“Tapi mengapa pohon ini ditebang? Bukankah pohon ini bermanfaat bagi kita? Bisa memberi oksigen, menyerap air, meneduhkan,” tanya Clara lagi.

“Betul Clara. Pohon ini punya manfaat seperi yang kamu sebutkan. Tapi pohon ini sudah sangat tua. Lihatlah, daunnya sudah berkurang. Tumbuhnya tidak sesubur dulu lagi. Banyak benalu di rantingnya. Lihat pula beberapa ranting yang meranggas. Bebeberapa orang ada yang pernah tertimpa ranting yang jatuh hingga terluka. Pohon ini jadi mencelakai orang yang lewat,” jelas Pak Kamto.

“Tapi di sini nanti jadi gersang,” ucap Clara.

“Pak Walikota sudah merencanakan akan mengganti setiap pohon tua yang ditebang dengan pohon baru. Jadi kita tidak perlu cemas. Dalam dua atau tiga tahun lagi kita akan punya pohon yang masih subur dan rindang,” tambah Pak Kamto.

Clara menengadahkan kepalanya. Dia melihat sosok pohon kenari yang sudah tidak serindang dulu lagi. Tampak sakit dan ringkih.

“Lantas bagaimana dengan burung-burung yang biasa hinggap di sini?” tanya Clara. Dia teringat peristiwa seekor anak burung yang cedera di kaki pohon kenari. Rupanya anak burung itu terjatuh dari sangkarnya. Clara merawat anak burung itu, hingga akhirnya bisa terbang sendiri.

“Ah, mereka akan pindah mencari pohon yang baru di sekitar sini. Oh iya, sebelum ditebang besok, aka nada petugas yang memeriksa pohon ini. Jika ada sarang burung dengan anaknya, tentu kami akan memindahkannya terlebih dulu,” ucap Pak Kamto.

Clara manggut-manggut. Dia kemudian berjalan menuju ke rumah dengan perasaan sedikit sedih. Setahun lalu, Clara pernah mengikuti lomba menulis puisi. Setelah pusing berpikir, Clara akhirnya menulis tentang pohon kenari itu. Tidak disangka-sangka, puisi itu menang lomba. Clara mendapat sebuah komputer yang diimpikannya. Sejak itulah Clara jadi makin rajin menulis. Entah puisi, cerpen, semua dituangkan di blognya.

 Ibu melihat wajah Clara yang mendung begitu masuk ke rumah. “Ada apa Clara? Apa bukumu disembunyikan lagi oleh temanmu?” tanya Ibu.

“Bukan, Bu,” jawab Clara.

“Tapi mukamu sedih begitu?” selidik Ibu.

“Pohon kenari di pinggir jalan akan ditebang besok. Begitu kata Pak Kamto,” jelas Clara sambil duduk di dekat Ibu.

“Benarkah? Oh …” Ibu terkejut sekali.

Clara jadi bingung. Mengapa Ibu sepertinya tidak suka mendengar kabar ini?” Kenapa, Bu?” tanya Clara.

Ibu menarik napasnya. “Pohon itu menyimpan kenangan antara Ibu dan Ayah. Dulu Ibu pertama kenal Ayah di bawah pohon itu. Ceritanya, sore itu hujan deras. Ibu baru pulang kuliah. Lalu beteduh di bawah pohon. Kemudian Ayah melihat Ibu, menawarkan bantuan membonceng motornya. Rupanya Ayah sudah lama memperhatikan Ibu. Tapi baru kali itu Ayah berani mengajak kenalan dengan Ibu. Ibu sih tadinya nggak mau diajak Ayah. Tapi Ayah memberi tahu kalau dia anak kenalan kakekmu,” papar Ibu.

“Hehehe, ia betul. Dulu sebelumnya ayahmu sudah sering tanya-tanya sama Kakek. Tapi dia nggak berani kenalan sendiri sama ibumu,” tiba-tiba kakek, ayahnya Ibu, muncul sambil tertawa. “Jadi, kehadiran Clara sekarang ini karena pohon kenari itu juga. Hehehe.”

Clara tersenyum. Pantas saja Ibu tadi kaget. Rupanya ada kenangan di sana. Setelah mencium Ibu dan Kakek, Clara menuju kamarnya di loteng rumah.

Sore harinya, ketika Clara berjalan ke jendela, dia melihat pucuk pohon kenari di pinggir jalan itu. Tiba-tiba Clara ingin mengucapkan puisi perpisahan untuk pohon kenari. Dia segera mengambil kertas dan pulpen.

Pohon Kenari Pohon Kenangan

Tumbuhmu di tepi jalan
Menyimpan banyak sekali kenangan
Dari ibu sampai aku
Dari debu sampai waktu
Duhai, pohon kenari
Yang menemani teduh dari sengat matahari
Tak lama tiada akan pernah  kulihat lagi
Sosokmu nan tegar berdiri sendiri
Sampai jumpa, kenariku
Kan kugenggam selalu kenangan bersamamu

Di jendela, Clara membacakan puisi itu menghadap pohon kenari. Suaranya lirih dengan basah di sudut matanya.

Tak lama kemudian, angin bertiup kencang. Membuat dedaunan berterbangan. Clara menutup matanya agar tak kelilipan. Lalu, tiba-tiba saja angin berhenti. Clara melihat sehelai daun kenari tergeletak di kakinya. Ada yang aneh di daun itu. Ada tulisan di atasnya.

Terima kasih puisi indahmu, Clara. Aku akan menyimpannya dalam kenangan.

00OO00



No comments: