Friday, September 19, 2014

Cernak, 21 September 2014

Hantu Pohon Jamblang




“Kamu sudah dengar kabar hantu pohon jamblang, Raf?” tanya Dodo dalam perjalanan pulang sekolah.
Rafli menggeleng. ”Bagaimana ceritanya?” ia balik bertanya, tertarik juga mengetahui kabar aneh itu.
”Aku sendiri dengar dari orang-orang. Katanya, ada hantu di pohon jamblang sebelum warung Mang Adun,” papar Dodo bersemangat.
”Memangnya ada yang pernah melihat hantu itu?”
”Kang Mamat yang melihat. Malam itu, dia pengen beli obat nyamuk. Tahu-tahu, ada suara aneh dari pohon jamblang itu. Pas dilihat, ada bayangan menyeramkan. Sebelum dilihat lebih menyeramkan lagi, Kang Mamat langsung kabur. Ia tak jadi beli obat nyamuk ke warung Mang Adun, malah ke warung Mang Obi,” tutur Dodo.
”Dan, Kang Mamat langsung bercerita kepada orang-orang yang ada di warung Mang Obi?”
”Begitulah,” sahut Dodo.
Rafli manggut-manggut. Siang yang panas membuat langkahnya tergesa-gesa. Kali ini, Rafli tak langsung pulang, tetapi jalan lurus melihat pohon jamblang tua yang dibicarakan Dodo. Dengan saksama, Rafli memperhatikan pohon tua yang sering dipetiki buahnya bersama teman-temannya.
Bisa jadi yang dilihat Kang Maman bukan hantu. Dia pasti salah lihat, pikir Rafli. Untuk memastikannya, Rafli memutuskan untuk kembali melihatnya di malam hari.
Meski ada perasaan takut, Rafli keluar rumah setelah shalat Isya. Kebetulan, ia punya kepentingan membeli bolpoin ke warung Mang Adun. Dengan berbekal lampu senter besar, Rafli menuju pohon jamblang itu. Lampu senter pun dinyalakannya begitu sampai. Keberaniannya timbul begitu saja. Ia menyenter setiap dahan yang melintang.
Tetapi tak ada hal yang aneh!
Rafli bernapas lega. Ia lantas menuju warung Mang Adun. Biasanya meski malam hari, warung itu masih ramai. Selain barang yang dijualnya komplet, Mang Adun juga menyediakan bangku panjang untuk duduk-duduk pelanggannya. Di warungnya, orang juga bisa memesan kopi atau mie instan rebus.
”Mau tutup, Mang?” tanya Rafli setelah membeli bolpoin yang diperlukannya.
”Iya. Habis sepi. Sekarang, kalau malam yang beli cuma dari timur. Yang di barat pada takut ke sini gara-gara cerita hantu pohon jamblang. Padahal, di timur cuma ada lima rumah,” jawab Mang Adun lesu.
”Tetapi, saya nggak percaya. Buktinya, saya masih belanja ke sini. Memangnya, Mang Adun juga pernah lihat hantu di pohon itu?”
”Seumur hidup, Mamang belum pernah lihat hantu.”
Rafli mengangguk. Rasa penasarannya terhadap cerita hantu itu masih menggodanya. Jadi, yang pernah melihat hanya Kang Mamat, pikirnya.
Rafli segera ke rumah Kang Mamat di ujung jalan sebelah barat. Umur Kang Mamat mungkin terpaut lima tahun di atas Rafli. Setelah tamat SMP, ia bekerja di pabrik permen milik Pak Mumu. Saat ini, entah sudah pulang atau belum Kang Mamat.
Rafli mengetuk pintu rumah Kang Mamat. Bu Ningsih muncul dengan wajah terkejut ketika melihat tamunya. ”Disuruh Bapak ke sini, Raf?” tanya Bu Ningsih, ibu Kang Mamat.
”Ah, bukan. Saya mau ketemu Kang Mamat. Ada perlu sebentar.”
”Belum pulang. Mungkin sebentar lagi. Ditunggu saja di dalam kalau memang perlu,” ajak Bu Ningsih.
Rafli mengikuti Bu Ningsih masuk dan duduk di salah satu kursi di ruang tamu. Mata Rafli langsung melihat dua karung beras dan terigu di sudut ruangan. ”Baru belanja banyak ya, Bu?” tanya Rafli melanjutkan percakapan.
”Ah, bukan. Itu kiriman dari Mang Obi untuk Mamat. Katanya sih, hadiah. Tidak tahu hadiah apaan,” jawab Bu Ningsih polos.
Rafli mengerutkan keningnya. Mang Obi memberi hadiah untuk Kang Mamat? Wah, ini berita hebat! Semua orang tahu betapa kikirnya Mang Obi. Belanja di warungnya tidak boleh ditawar. Malah, kurang lima puluh rupiah saja pasti disuruh pulang. Sebaliknya, kembalian seratus rupiah akan digantinya dengan permen. Itu sebabnya warung Mang Obi selalu sepi. Orang-orang baru belanja di warung Mang Obi kalau barang yang akan dibelinya tidak ada di warung Mang Adun.
Lantas .… Tiba-tiba, Mang Obi berbaik hati memberi hadiah untuk Kang Maman?
Pikiran Rafli buyar ketika Kang Mamat mengucapkan salam sambil masuk ke rumah. Ia agak kaget melihat kedatangan Rafli, juga dua karung di sudut ruangan. Bu Ningsih segera menceritakan perihal karung itu kepada anaknya.
”Saya disuruh Ayah memanggil Kang Mamat. Katanya, Kang Mamat diminta menceritakan soal hantu di pohon jamblang itu kepada Ayah,” ujar Rafli berdusta. Hehehe … boleh, kan? Ini demi kebaikan, kok!
Kang Mamat tampak pucat. Ia terdiam lemas beberapa saat. Lalu, ”Sebenarnya, cerita hantu pohon jamblang itu bohong,” katanya gugup.
Rafli tidak terkejut. Ia sudah menduganya.
”Saya akan ceritakan semuanya. Tetapi tolong, jangan sampaikan kepada Pak Lurah,” pinta Kang Mamat sambil membayangkan wajah angker ayah Rafli yang menjabat Lurah. ”Semua ini rencana Mang Obi. Ia minta saya menyebarkan kabar soal hantu pohon jamblang itu, biar orang-orang tidak belanja lagi di warung Mang Adun. Terutama kalau sudah malam. Saya tergoda karena dijanjikan akan diberi apa yang saya mau. Tetapi, justru setelah itu, hati saya tidak tenang. Apalagi kalau ingat kebaikan Mang Adun. Beberapa kali saya dibolehkan ngutang kalau tidak punya uang,” papar Kang Mamat.
Rafli manggut-manggut. ”Saya tidak bisa banyak membantu. Tetapi sebaiknya, hadiah dari Mang Obi ini dikembalikan saja. Besok saya akan usul kepada Ayah agar menebang pohon jamblang itu. Soalnya, pohon itu memang sudah tua dan rapuh, bisa membahayakan orang yang lewat kalau tiba-tiba roboh. Jika pohon itu ditebang, cerita hantu pun akan hilang dengan sendirinya. Orang tidak takut lagi belanja ke warung Mang Adun,” kata Rafli.
”Begitu, ya?”
”Meski begitu, Kang Rahmat harus minta maaf sama Mang Adun. Dan urusan ini harus diselesaikan oleh Kang Mamat sendiri. Kasihan Mang Adun, warungnya jadi sepi gara-gara cerita tak benar Kang mamat,” tambah Rafli.
”Saya sungguh menyesal,” kata Kang Mamat lirih. Ya, itulah kalau tak pernah memikirkan akibatnya jika berbuat jahat pada orang lain.

No comments: