Puteri Mpek-mpek
oleh Benny Rhamdani
oleh Benny Rhamdani
Semua bermula ketika aku pindah sekolah karena Papa ingin aku belajar di sekolah yang lebih bagus. Maka aku masuklah aku sekolah di tengah kota itu. Yang aku kaget, teman-teman baruku menertawaiku ketika aku menyebut namaku di depan kelas.
“Namaku Puteri Andini. Panggil aku Puteri,” kataku.
“Hahahaha.” Mereka kompak
tertawa bersama.
Aku tentu saja bingung. Kutengok wali kelas baruku.
“Duduklah. Sebaiknya kamu cari nama pengganti yang lain. Karena di kelas ini sudah ada lima murid bernama Puteri,” kata Bu Ryana.
Aku tentu saja bingung. Kutengok wali kelas baruku.
“Duduklah. Sebaiknya kamu cari nama pengganti yang lain. Karena di kelas ini sudah ada lima murid bernama Puteri,” kata Bu Ryana.
Aku duduk. Lagi-lagi aku kaget mendengar teman sebangku baruku menyebutkan namanya.
“Hai, namaku Puteri Salsa. Panggil aku Puput. Soalnya dikelas ini ada yang namanya Salsa juga,” katanya.
Aku tersenyum sambil memikirkan nama baru untukku. Tapi susah. Aku tak mau dipanggil Andi. Seperti nama lelaki. Dipanggil Dini juga tak mau karena kakakku biasana dipanggil begitu di rumah. Nanti kalau ada orang mencari nama Dini ke rumahku, bingung deh kami.
“Hanya satu orang yang dipanggil Puteri. Tuh yang gede dan galak di pojok sana. Tiga lagi diberi nama Laras, Cinta, dan Widya. Sesuai nama belakangnya,” jelas Puput.
“Aku ingin dipanggil puteri saja,” kataku mantap.
“Wuah, kamu bisa berurusan dengan Puteri galak itu,” kata Salsa.
Aku tidak takut, kataku dalam hati.
Saat istirahat, beberapa anak mencoba memanggilku Andin dan Dini. Tapi aku meminta mereka tetap memanggilku Puteri. Itu nama depan pemberian nenekku tersayang.
“Sebaiknya kamu ganti nama,” tiba-tiba Puteri galak menghampiriku. “Jangan sampai nanti membingungkan.”
“Hai, namaku Puteri Salsa. Panggil aku Puput. Soalnya dikelas ini ada yang namanya Salsa juga,” katanya.
Aku tersenyum sambil memikirkan nama baru untukku. Tapi susah. Aku tak mau dipanggil Andi. Seperti nama lelaki. Dipanggil Dini juga tak mau karena kakakku biasana dipanggil begitu di rumah. Nanti kalau ada orang mencari nama Dini ke rumahku, bingung deh kami.
“Hanya satu orang yang dipanggil Puteri. Tuh yang gede dan galak di pojok sana. Tiga lagi diberi nama Laras, Cinta, dan Widya. Sesuai nama belakangnya,” jelas Puput.
“Aku ingin dipanggil puteri saja,” kataku mantap.
“Wuah, kamu bisa berurusan dengan Puteri galak itu,” kata Salsa.
Aku tidak takut, kataku dalam hati.
Saat istirahat, beberapa anak mencoba memanggilku Andin dan Dini. Tapi aku meminta mereka tetap memanggilku Puteri. Itu nama depan pemberian nenekku tersayang.
“Sebaiknya kamu ganti nama,” tiba-tiba Puteri galak menghampiriku. “Jangan sampai nanti membingungkan.”
“Tapi aku tidak bingung.”
“Huh, anak baru kok belagu.”
“Aku tidak belagu. Puteri adalah nama dari nenekku. Aku
senang dipanggil nama yang sama dengan nenekku,” jawabku.
Ya itulah aku. Sedikit keras kepala. Hehehe.
Lalu, semuanya berubah ketika aku dijemput pulang sekolah. Yang menjemput Pak Ibun, supir keluarga kami. Pak Ibun memakai mobil yang ada poster besar rumah makan kami Mpek-Mpek Puteri.
“Oh, ayah kamu yang punya rumah makan mpek-mpek tyerkenal itu ya?” Tanya Salsa.
“Iya. Kamu pernah mampir?” tanyaku.
Lalu, semuanya berubah ketika aku dijemput pulang sekolah. Yang menjemput Pak Ibun, supir keluarga kami. Pak Ibun memakai mobil yang ada poster besar rumah makan kami Mpek-Mpek Puteri.
“Oh, ayah kamu yang punya rumah makan mpek-mpek tyerkenal itu ya?” Tanya Salsa.
“Iya. Kamu pernah mampir?” tanyaku.
“Sering.” Wuah, nanti aku boleh minta diskon dong.”
“Hehehe, minta sama mamaku ya. Aku kan bukan pemiliknya.”
Salsa cengengesan.
Besoknya kabar itu tersiar cepat.
Salsa cengengesan.
Besoknya kabar itu tersiar cepat.
“Hai Puteri mpek-mpek,” sapa Pueteri halak pagi-pagi.
Tak lamakemudian beberapa anak lelaki memanggil dengan nama yang sama. “Hai Puteri mpek-mpek, bagi dong mpek-mpeknya,” ledek mereka.
Agak kesal sih mendengarnya. Di sekolah lamaku dulu banyak anak-anak pemilik rumah makan mpek-mpek. Mungkin di sini cuman aku.
Tak lamakemudian beberapa anak lelaki memanggil dengan nama yang sama. “Hai Puteri mpek-mpek, bagi dong mpek-mpeknya,” ledek mereka.
Agak kesal sih mendengarnya. Di sekolah lamaku dulu banyak anak-anak pemilik rumah makan mpek-mpek. Mungkin di sini cuman aku.
Sampai di rumah aku mengadu ke pada Mama. Jawaban Mama sudah
kuduga.
“Tidak ada yang salah dengan panggilan mereka. Kamu kan memang Puteri Mpek-mpek. Lama-lama juga terbiasa dengan panggilan itu. Teman-teman Mama juga memanggil Ibu Mpek-mpek, tapi Mama nggak marah kok,” kata Mama.
Setelah dipikir-pikir, aku juga baru sadar. Untuk apa aku kesal. Dari pada aku kesal, mendingan aku jalan-jalan.
Aku kemudian pergi ke toko buku. Di tengah jalan aku terkejut melihat Puteri galak ke luar dari sebuah rumah makan. Ya, Rumah makan khusus ikan belida. Namanya rumah makan belida Puteri. Aku bertanya kepada tukang parkir di depannya.
“Pak, apakah ini rumah makan punya Puteri yang tadi itu?” tanyaku.
“Iya, itu anaknya pak Masri,” jawabnya.
Aha!
“Tidak ada yang salah dengan panggilan mereka. Kamu kan memang Puteri Mpek-mpek. Lama-lama juga terbiasa dengan panggilan itu. Teman-teman Mama juga memanggil Ibu Mpek-mpek, tapi Mama nggak marah kok,” kata Mama.
Setelah dipikir-pikir, aku juga baru sadar. Untuk apa aku kesal. Dari pada aku kesal, mendingan aku jalan-jalan.
Aku kemudian pergi ke toko buku. Di tengah jalan aku terkejut melihat Puteri galak ke luar dari sebuah rumah makan. Ya, Rumah makan khusus ikan belida. Namanya rumah makan belida Puteri. Aku bertanya kepada tukang parkir di depannya.
“Pak, apakah ini rumah makan punya Puteri yang tadi itu?” tanyaku.
“Iya, itu anaknya pak Masri,” jawabnya.
Aha!
Esok paginya, aku sengaja datang lebih awal. Teman-teman
baruku berdatangan dan menyapaku dengan Puteri Mpek-mpek. Say Puteri galak
masuk, dia juga menyapaku,” Hai Puteri mpek-mpek. Rajin banget datangnya.”
“Selamat pagi juga Puteri Belida,” jawabku.
Tiba-tiba sesisi kelas tertawa.
Puteri Belida menatapku, ingin marah. Tapi aku tidak takut. Tubuhku sedikit lebih besar darinya.
“Selamat pagi juga Puteri Belida,” jawabku.
Tiba-tiba sesisi kelas tertawa.
Puteri Belida menatapku, ingin marah. Tapi aku tidak takut. Tubuhku sedikit lebih besar darinya.
Sejak saat itu ada dua nama Puteri di kelasku. Satu Puteri
Mpek-mpek, satu lagi Puteri Belida.
Hahaha, sama-sama makanan khas kota Palembang.
^_^
^_^
No comments:
Post a Comment