Pencuri yang Aneh
Oleh Benny Rhamdani
Museum di kotaku heboh. Sebuah lukisan tua yang harganya
mahal dicuri kemarin malam. Yang membuat seisi kota, pencurinya meninggalkan
kertas bertuliskan puisi di dekat lukisan itu. Koran-koran pun memuat puisi itu.
“Siapa saja yang bisa memecahkan teka-teki puisi ini segera
hubungi kantor polisi terdekat. Dia akan mendapat hadiah,” kata Pak Walikota.
Ini dia isi puisinya.
Bila matahari terbenam di sana tak ada apa-apa
Kau tak pernah tahu
lawannya senja
Aku bukan beringin
Aku terayun-ayun
Kau tahu bentuk bulan
bukan?
Ayahku seorang polisi. Dia bertugas semalam. Dan pagi ini
baru pulang ke rumah. Itu pun untuk sarapan saja. Mungkin sebentar lagi akan
berangkat.
“Ayah, siapa pelaku pencurian itu?” tanyaku saat sarapan.
“Pasti dia seorang penyair gagal. Makanya dia mencuri,
mengundang kehebohan,” kata Ayah.
“Jadi belum ketemu pencurinya?” tanyaku.
“Belum. Kalau pun pencurinya ketemu, lukisan itu belum tentu
masih ada padanya. Mungkin sudah dijual,” kata Ayah. “Padahal Pak Walikota
menyukai lukisan itu.”
Aku manggut-manggut. Lalu kubaca sekali lagi.
Hari ini aku libur sekolah. Jadi setelah sarapan aku pergi
ke rumah sahabatku, Doni.
“Willy, kau tahu pencurian itu kan?” tanya Doni.
“Ya.”
“Ayahmu bilang apa?”
“Kau tahu, ayahku jarang cerita soal kasus-kasus yang jadi
tugasnya di rumah,” jawabku.
“Bagaimana kalau kita pecahkan sandi di puisi itu?” ajak
Doni.
“Yuk!” Aku juga tertarik. “Kita
mulai dari baris pertama. Bila matahari
terbenam di sana tak ada apa-apa. Menurutmu artinya apa?”
“Sepertinya dia mau kasih tahu,
jangan pergi ke tempat matahari terbenam karena tidak ada apa-apa.”
“Memangnya tempat matahari
terbenam di mana? Singapur? Jepang?”
“Barat.”
“Berarti di timur?”
“Belum tentu. Bisa juga di Selatan
dan utara.”
“Iya juga sih. Kalau di timkur,
itu kira-kira timurnya siapa?”
Doni menggeleng. “Kita baca kaliamat selanjutnya. Kau tak
pernah tahu lawannya senja. Lawan sengaja itu pagi. Kurasa itu artinya
memang timur.”
“Mungkin bagian timur dari museum,” kataku menebak.
“Aku bukan beringin. Aku
terayun-ayun. Apa ini ya?” kata Doni. “Di sebelah timur museum yang kutahu
ada padang ilalang. Ya ilalang bukan beringin. Dan terayun-ayun.”
“Ayo kita kesana!”
Kami bergegas mengayuh sepeda ke lapangan ilalang di timur
Museum. Begitu sampai di sana kami kaget karena melihat ada beberapa mobil
polisi juga. Kulihat juga ada juruberita dari televise. Mereka parkir di dekat
sebuah rumah caravan tua. Aku tahu di sana tinggal seorang janda tua yang
sakit-sakitan. Mungkinkah dia pencurinya?
“Ayah!” Aku memanggil ayahku.
“Willy, ngapain kamu ke sini?” tanya Ayah.
“Aku dan Doni tadi
memecahkan sandi puisi itu. Apa benar pelakunya di rumah caravan itu?”
“Bukan. Di sana ada Bu Jones yang sedang sakit parah. Dia
tak mungkin masuk ke museum dan mencuri. Sepertinya pencuri itu meminta kami
mendatangi Bu Jones dan mengobatinya,” jelas Ayah.
Ah, berarti pencuritu baik hatinya.
“Lalu apa arti
kalimat terakhir pusisi itu?” tanyaku ke pada Ayah.
“Kami belum tahu. Di caravan itu sama sekali tak ada yang
berhubungan dengan bulan,” kata Ayah.
Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Dulu, aku senang sekali
melihat bulan. Bukan di langit. Tapi pantulannya di genangan air.
“Ayah, apakah di sini ada sumur atau danau kecil?” tanyaku.
“Ya danau tua bekas penggalian. Kenapa?” tanya Ayah.
“Kurasa kalimat terakhgir itu ada hubungannya. Kita bisa
melihat bentuk bulan di genangan air,” jelasku. “Seperti permainan anak-anak.”
Ayah tersenyum. Dia langsung meminta beberapa temannya
berlari menuju ke danau buatan. Aku dan Doni ikutan. Tak berapa lama kemudian,
Ayah dan teman-temannya menemukan sebuah kotak kayu di sisi danau. Di sanalah
lukisan itu disimpan. Lalu pencurinya?
Pencurinya tidak diketahui. Tapi dia menulis puisi di dekat
lukisan itu.
Aku pengelana
Mungkin aku sudah
melangkah jauh
Tanpa bentuk tak usah
kau tahu
Titip salam untuk Bu
Jones.
Sampai bertahun-tahun pencuri itu tidak diketahui. Bahkan sampai
aku besar menjadi seorang polisi, atak satu pun yang berhasil menemukan
pencurinya.
^_^
No comments:
Post a Comment